Keadaan ini mengepungku. Memenjarakanku
dalam jeruji waktu yang entah kapan berhenti memusuhiku. Aku ingin berontak,
tapi tali api menyanderaku. Membuatku tak bisa berbuat apa-apa.
Dalam remang cahaya bulan, kembali kuhitung
satu-satu bintang di gelap langit malam. Kembali, ketika hitunganku sudah mulai
banyak dan konsentrasiku terpasung kuat, aku harus memulai lagi menghitung dari
awal. Seolah mereka tak mau aku berhasil menebak berapa jumlah kawanan mereka.
Ini terus kulakukan untuk membunuh waktu.
Gegap gempita malam yang sepi ini hanya ditemani suara jangkerik dan sesekali
desahan nafasmu menyulut sebatang rokok yang tak pernah habisnya ada di kantong
celanamu.
Asap dari rokokmu membumbung di awan yang
gelap menyaingi sinar rembulan yang menerobos celah-celah dedaunan di seputaran
taman ini.
Tahukah kau aku sudah tak tahan dengan
keadaan ini? berkali-kali kucoba menyelami hatimu dengan menatap lekat-lekat
wajahmu. Berusaha menemukan jawaban atas segala kebisuan ini.
Kumohon! bicaralah. Lebih baik kau memakiku
daripada harus menyiksaku dengan diammu ini. Tidak tahukah kau bahwa
nyamuk-nyamuk pengisap darah sudah memanen darahku sedari tadi?
***
Kembali kurasakan waktu berjalan perlahan
saat aku ingin semuanya cepat berlalu. Andai aku punya samurai penebas waktu,
aku ingin memangkasnya habis-habisan agar lebih ringkas. Dan semua cepat
berlalu. Agar aku cepat terbebs dari kungkungan masa ini.
Ini untuk yang ke-dua kalinya kau
menyiksaku dengan diammu. Mungkin memang aku yang salah mengkhianatimu dengan
berpindah haluan. Tapi ketahuilah, aku lakukan ini karena aku sudah tak tahan
denganmu!
Tak sadarkah kau aku selalu tersiksa
menahan rindu yang tak terbalaskan? kau biarkan aku bercumbu dengan angin lalu
yang kosong. Tanpa makna. Sedangkan kau asyik dengan duniamu sendiri. Jarang
sekali kau membuatku mengerti arti hubungan ini yang sesungguhnya. Membuatku
terkadang bertanya pada malam, apa maksud semua ini.
“Kamu maunya apa?” ujarmu sambil terus
menyulut rokok
“Setelah kamu menyiksaku dengan diammu,
kamu baru bertanya apa mauku?” aku melotot tak percaya
“Aku tak menyiksamu….”
“Kau menyiksaku! tak sadarkah kamu aku juga
manusia yang ingin dianggap?”
“Apa selama ini aku tidka menganggapmu?”
“Kamu tak menganggapku ada! kau asyik
dengan duniamu sendiri dan tak memperdulikanku!”
“Sudahlah, aku jenuh dengan semua ini.”
“Sama! aku juga! jauh lebih jenuh
daripadamu! jangan salahkan aku jika aku mencari yang lain!” ujarku sambil
berlalu meninggalkannya yang memandangku santai.
Ah, aku tak percaya, bahkan ia tak berusaha
menahanku pergi. Sudahlah, sekarang sepatutnya aku bersyukur bahwa ini sudah
berlalu. Kejenuhan ini akan segera berakhir dengan hadirnya kuncup baru. Waktu
takkan lagi memusuhiku.
0 komentar:
Posting Komentar