Aku kembali tersudutkan. Tumpukan buku-buku di deretan lemari yang
mengelilingiku seakan mengepungku hingga sudut keremangan ini. Hatiku bergejolak.
Ada muatan aneh yang siap meledak. Mataku nyalang membaca nama-nama yang
tercetak indah di sampul buku-buku di hadapanku.
Aku
berusaha menerjemahkan bahasa hati ini. Dan sebuah kenyataan membentur ulu
hatiku. AKU IRI! ya, memang benar rasa itu kini bersemayam di hatiku. Iri pada
apa? aku iri pada nama-nama di sampul buku-buku itu!
Nama
yang selalu disebut orang-orang setiap mereka selesai membaca buku, nama yang
selalu disebut sebagai pejuang pena. Mereka terkenal hanya karena tulisan.
Sedangkan aku, harus berkoar-koar di depan massa agar aku bisa dikenal.
Aku
bukan gadis yang cantik, supel, kaya, jenius,
apalagi terkenal. Aku gadis yang akan selalu menebar senyum 3 jari dan
menahannya selama beberapa menit ketika seseorang mendekatiku. Aku gadis yang
sudah terbiasa dikucilkan, bahkan tak dianggap. Aku bukan siapa-siapa yang bisa
menjadi alasan mengapa aku bisa terkenal.
Wajar
tidak sih jika aku iri? wajar tidak jika aku ingin namaku-lah yang tercetak
indah di sampul buku itu? aku bukan siapa-siapa. Aku hanya punya segenggam
mimpi dengan pena dan kertaslah alatku untuk bisa mewujudkannya. Aku ingin
menulis, aku bermimpi menjadi penulis. Dan saat itu tiba, orang-orang akan
mengenangku dan ingat bahwa aku pernah berjalan di samping mereka.
Mulailah
aku menulis, menuang sedikit demi sedikit harapan untuk bisa menjadi penulis.
Aku bukan seoang pemimpi. Karena kuyakin betul ini bukan sekadar mimpi. Ini
akan menjadi nyata. Dengan usaha dan semangat pantang mundur, aku yakin aku
bisa meraihnya. Tunggulah aku, tunggulah saat kesuksesan itu kuraih. Dan kalian
akan bangga pernah mengenalku.
Jika
kamu bukan anak raja atau kaum bangsawan, maka menulislah...
Tulisan
akan membuatmu terus hidup meskipun tulangmu sudah teronggok di dalam tanah...
0 komentar:
Posting Komentar