Sabtu, 10 November 2018

Peran Dukun dalam Persalinan : Apakah Salah?

Baru-baru ini Puskesmas Sukarami sebagai institusi penugasan saya sebagai Pencerah Nusantara Muara Enim mengadakan Kemitraan Bidan-Dukun. Program ini bukannya baru memang, telah ada beberapa desa di wilayah kerja Puskesmas Sukarami yang telah memiliki kemitraan bidan-dukun. Telah disiapkan dan dimatangkan prosesnya sejak Pencerah Nusantara angkatan IV bertugas di sini tahun 2016 lalu, akhirnya tanggal 16 Oktober lalu terlaksanalah penggalangan komitmen dan kemitraan bidan-dukun untuk 19 desa di wilayah Kecamatan Sungai Rotan.

Saat ini terdapat sekitar 23 bidan desa yang disiagakan di 19 desa di Kecamatan Sungai Rotan untuk memudahkan akses masyarakat terhadap layanan kesehatan. Namun ternyata jumlah dukun bersalin mencapai sekitar 56 orang, dua kali lipat jumlahnya daripada tenaga medis yang tersedia. Hal ini menyebabkan masih rendahnya angka persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan dan menimbulkan masalah lainnya termasuk yang paling fatal adalah kematian ibu dan bayi. 
“Apakah salah dukun menolong persalinan? Apakah benar hanya dukun yang bertanggungjawab pada kematian ibu dan bayi ini?” 
Pertanyaan di atas seringkali terlontar dari para stakeholder kunci yang kami temui disini. Mereka mungkin memandang dukun bersalin sebagai tokoh kearifan lokal, karenanya mereka kurang setuju menghapuskan peran dukun dengan tenaga kesehatan. Tapi kami disini bukannya langsung melihat benar atau salahnya seorang dukun bersalin, melainkan mempelajari kearifan lokal dan budaya yang sudah temurun diberikan oleh “nenek puyang” (semacam leluhur) yang terus dipertahankan oleh dukun.
Ketika suatu hari aku mendengar ada pasien bayi berusia 1 minggu yang mengalami perdarahan tali pusat. Setelah dikonfirmasi kepada orangtuanya, bayi tersebur lahir dibantu oleh dukun bersalin dan luka potong tali pusatnya saat itu diberikan kotoran kambing oleh si dukun. Aku tidak akan menahanmu untuk geram, marah, bahkan merutuki si dukun. Pun denganku ketika kabar ini sampai ke telingaku. Kata-kata yang terlintas di pikiranku saat itu adalah, “bodoh”, “dungu”, “keterlaluan”. Bahkan ketika cerita ini diangkat dalam suatu forum yang menghadirkan seluruh pejabat daerah dan kecamatan, semua orang merasa merinding dan kaget mendengarnya.

Tapi, kenapa dukun dan segala tindakannya masih dibilang sebuah “kearifan lokal”?

Suatu hari aku sedang berada di ruang poli KIA menemani teman satu tim penugasanku yang berprofesi sebagai bidan. Saat itu ia sedang menunggui ibu yang sedang menjalani pembukaan untuk melahirkan. Datanglah seorang nenek, yang awalnya mondar-mandir di depan ruangan KIA dan ketika kusapa akhirnya ia memberanikan diri untuk masuk dan mengajakku ngobrol.

Dengan bahasa daerah yang kental yang hanya dapat kuartikan sepatah-patah itu, aku tahu ia sedang menceritakan kisahnya menjadi dukun. Selain hal bahagia yang muncul dalam diriku ketika melihat kemitraan bidan-dukun itu bekerja (dukun mendampingi ibu hamil untuk bersalin di fasilitas kesehatan dengan tenaga kesehatan), aku juga mulai melihat bagaimana bentuk kearifan lokal itu.
Jauh sebelum praktik medis mulai berkembang, apalagi di daerah pinggiran seperti disini, dukunlah yang menjadi “pahlawan” bagi masyarakat yang membutuhkan pertolongan pengobatan, terutama untuk melahirkan. Nenek Emi atau yang dikenal dengan Nenek Gadis, menceritakan padaku bahwa untuk mengobati luka potong tali pusat bayi yang baru lahir, mereka biasa memberikan parutan kunyit yang dicampur dengan garam sebagai pengganti iodin povidon. Berdasarkan pengalaman mereka sebagai dukun, luka itu akan segera kering setelah diberikan ramuan itu.
Lalu kucoba kulik lagi info dari Beliau, aku bertanya dengan halus mengenai alasan dukun memberikan tahi kambing pada luka potong tali pusat bayi. Beliau bilang, itu memang diberikan, namun untuk luka yang sudah mengering. Alasannya, mereka—para dukun—itu percaya bahwa jika mereka memberikan tahi kambing, maka kelak sang bayi akan memiliki hal baik dari kambing, dimana kambing memakan rumput dan diharapkan nantinya sang bayi dapat memakan apapun yang diberikan orangtuanya, serta tidak memilih-milih makanan.
Selain itu, Nenek Gadis juga memberitahuku bahwa selain ramuan kunyit yang dicampur dengan garam, mereka juga menggunakan tepung (mereka menyebutnya gandum) yang dilarutkan dalam air agar luka potong tali pusat bayi segera mengering.
Pertanyaannya sekarang, apakah salah tindakan mereka?

Benar atau salahnya, aku tidak melihat adanya kebaikan seorang tenaga medis memusuhi bahkan berusaha memusnahkan peran dukun ini. Mereka ada sebagai pahlawan, mungkin jauh sebelum ilmu kedokteran berkembang pesat sampai saat ini. Dukun ada untuk ditemani, dipahami, dan diajak bekerjasama untuk menolong masyarakat. Bisa saja seorang pasien memilih melahirkan dengan dukun karena masalah kekurangan biaya jika melahirkan dengan tenaga medis (dokter, bidan) atau karena masalah akses, seperti yang juga kutemui di sini.

Bagaimana pendapatmu?

0 komentar:

Posting Komentar