Senin, 14 Januari 2019

Kaleidoskop Tahun 2018 dan Resolusi Tahun 2019

Halo... ketemu lagi sama aku ya. Pasalnya Aku nih udah nulis draft dengan judul yang sama di blog ini. Tapi gak sengaja kehapus. Padahal itu kutulis di perjalanan dan sudah mengerahkan segala jiwa dan raga emosi dan memori dalam menuliskannya. Bahkan sampai telat banget ngepostnya.

Oke, kucoba tulis ulang dan semoga kubisa ikhlas ya supaya bisa teteg menuliskan resolusiku. Jadi seperti yang bisa kalian tebak, tahun 2018 adalah tahunnya Pencerah Nusantara. Duh semoga kalian ga bosan ya dengar ceritaku tentang perjalananku menjadi #sayapencerah

Intinya aku mengawali tahun 2018 dengan mengikuti seleksi Pencerah Nusantara dan Alhamdulillah sekarang ini masih menjalankan tugas sebagai Pencerah Nusantara. Aku tidak akan bercerita lagi tentang bagaimana proses seleksi Pencerah Nusantara, karena itu semua bisa kamu baca di postinganku sebelumnya.

Aku ingat banyak orang yang memintaku untuk menuliskan pengalaman-pengalaman apa saja yang kudapatkan di penempatan. Nah, mungkin baru sekarang aku bisa merangkai apa saja pelajaran yang kuperoleh sejak bertugas di Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan.

1. Kerja Tim

Jelas ya, Pencerah Nusantara merupakan model team based kolaborasi interprofesi kesehatan. Kami bekerja dalam tim, namun masing-masing punya area fokus program. Misalnya aku nih pegang program Manajemen Puskesmas dan Pemberdayaan Pemuda. Walaupun terlihat berbeda fokus, tapi dalam menyusun konsep, pelaksanaan, sampe evaluasi kami berkoordinasi dengan anggota tim lainnya. Ada waktu-waktu kami melakukan rapat intern membahas banyak hal, namun lebih banyak rapat tidak resmi saat kami lagi ngumpul makan bersama atau bahkan saat berboncengan di motor. Ada juga waktu-waktu kami tidak bisa menghandle program kami sendiri, sehingga harus meminta bantuan anggota tim lain untuk mengambil alih.

Di samping itu, kami bertiga memiliki karakter yang berbeda, yang menurutku saling menopang dan mendukung satu sama lain. Misalnya; Edo membuat konsep, Eka mengurus komunikasi dengan stakeholder, sedangkan aku mengurus detail-detail pelaksanaan program. Tak jarang juga masing-masing mengambil peran yang berbeda.
Ketika ketiganya berpisah untuk visi dan misi yang sejalan

2. Belajar Bertoleransi

Ditempatkan di tempat baru yang sama sekali berbeda dalam hal budaya membuatku benar-benar belajar. Pertama mengamati, kedua memahami, ketiga mencoba membaur. Ada beberapa budaya di penempatanku yang sama sekali berbeda dengan budayaku sendiri sebagai orang jawa. Bukan bermaksud etnosentris, dan bukannya membandingkan budaya siapa yang lebih baik. Tapi pengalaman yang membawaku pergi ke beberapa tempat di pelosok dengan karakter sosial masyarakat yang berbeda, membuatku harus pandai menempatkan diri. Yang jelas, dimanapun kakiku berpijak, disitulah aku menjadi "mereka". Walaupun terkadang merasa "Kok Gini sih" tapi inilah yang membuatku belajar bertoleransi.


3. Tidak Berekspektasi Berlebihan

Nah, ini yang penting. Ketika kita berada di tempat baru, wajar jika awalnya kita mencari tahu tentang tempat yang akan kita datangi. Sekadar melihat gambar, artikel review di internet, atau dengar dari kata orang. Ini bisa jadi hal baik atau hal yang kurang baik sih. Terlebih jika kamu memiliki ekspektasi yang berlebih. Berlebih disini sederhananya, ketika kamu berpikir "harusnya gini, tapi kok disini begini". Bila hal ini terjadi, biasanya yang muncul adalah rasa kecewa, rasa putus asa, bingung, marah, sedih. Nano-nano. Aku melewatkan waktu berbulan-bulan untuk belajar menurunkan ekspektasiku dan belajar menerima keadaan. Sempat mampir juga rasa hampir frustrasi karena tidak tahu apa yang harus dilakukan, terlebih jika membandingkan dengan pencapaian orang lain. Jadi mikir, "ini aku yang bodoh dan gak mampu, atau aku yang kurang beruntung?" Nah, sudah. Semua terlihat salah.
Merawat luka Umak Caca, pasien ODGJ Puskesmas Sukarami

4. Belajar Mengapresiasi Diri Sendiri

Inilah kuncinya untuk mengembalikan semangat yang sempat beberapa kali menurun. Yang perlu diingat selalu adalah berhenti bersikap perfeksionis. Apapun yang sudah dilakukan, yakin bahwa itulah usaha terbaik yang bisa dikerahkan oleh diri. Jadi, penting sekali kita mengapresiasi diri sendiri. Katakan pada diri sendiri ketika berkaca, "Aku sudah hebat, sampai pada titik ini. Semua akan baik-baik saja, karena aku telah mengusahakan yang terbaik". Ini ampuh sih untukku, bukan untuk membuat diri makin tinggi hati melainkan untuk belajar bersyukur. Seringkali hal-hal yang sudah kita rencanakan tidak berjalan sesuai rencana. Namun, akan selalu ada penolong jika kita pasrah dan berpikir positif pada rencana Tuhan. Terkadang penolong itu berasal dari orang-orang yang tidak kita duga, jadi penting banget untuk kita meluruskan niat dan berbaik hari pada siapapun.
Selalu mengusahakan pergi bertiga, biar satu senang lainnya ikut senang


5. Belajar Hidup Sederhana

Jujur saja, aku terbiasa hidup sederhana sejak kecil karena dibesarkan di keluarga yang sederhana (jika tidak mau dibilang tidak punya apa-apa). Tapi hidup di tempat asing nun jauh dari keluarga dan teman-teman dekat membuatku makin belajar untuk hidup apa adanya. Syukurnya, aku justru dikelilingi oleh orang-orang baik yang senantisa melimpahiku dengan kebaikan yang mewah yang seringkali membuatku berpikir, "apakah aku hidup lebih mewah daripada keluargaku di rumah?". Sungguh, hal ini yang selalu kuusahakan untuk dihindari. Aku tidak ingin bahagia melebihi kebahagiaan keluargaku di rumah. Artinya, merekapun harus ikut merasa bahagia dengan cara yang sama. Terkadang jika melihat teman yang mendapatkan pekerjaan yang dia inginkan dan berada dekat dengan keluarga membuatku berpikir, "apa aku kurang beruntung?" Namun kurasa aku kufur nikmat Jika merasa seperti itu. Aku yakin Tuhan sudah gariskan takdir untukku, dan itu adalah pilihan terbaik dari-Nya.


6. Belajar Memahami Sesuatu Secara Mendalam

Sesuai tuntutan pekerjaanku, aku harus menentukan alternatif pemecahan masalah dalam proses pendampingan kami kepada Puskesmas. Untuk itu, kami harus menemukan "latar belakang" dari masalah yang kami temui. Terkadang hanya mendengarkan saja tidak cukup, dibutuhkan keberanian untuk mau mencari tahu apa penyebab, alasan atau apapun di balik masalah yang ditemui. Terkadang dapat terjadi mental blok bila kita hanya mendengarkan dari satu sisi sehingga yang terlihat adalah salah si A. Padahal Jika mau ditelusur lebih dalam, bisa saja kita menemukan prediktor lain yang bisa menjadi pertimbangan kita dalam mengambil keputusan yang bijak.
Mendengarkan dan memberi masukan, advokasi dana desa

Nah, itu mungkin poin-poin penting pembelajaran yang kuperoleh di tahun 2018 ini melalui Pencerah Nusantara. Selanjutnya, sebagai resolusiku di tahun 2019 adalah aku ingin menyelesaikan tugas sebagai Pencerah Nusantara dengan baik. Kembali ke kampung halaman dan mencoba berbuat sesuatu yang bermanfaat untuk masyarakat, juga melanjutkan mimpi yang sempat tertunda untuk dapat melanjutkan studi. Apapun pilihan jalan di depan yang akan kutemui, aku harap bisa lebih siap karena aku telah melewatkan tahun 2018 yang penuh pembelajaran melalui Pencerah Nusantara.

0 komentar:

Posting Komentar