Jumat, 13 Juli 2018

Stereotype Gender

Stereotip gender adalah kategori luas yang merefleksikan kesan dan keyakinan tentang apa perilaku yang tepat untuk pria dan wanita. Semua stereotip, entah itu berhubungan dengan gender, etnis, atau kategori lainnya, mengacu pada citra dari anggota kategori tersebut (Sumber: Wikipedia Indonesia).
"Wanita itu harusnya begini... sedangkan laki-laki itu harusnya begini...."





Bicara mengenai stereotype gender, awalnya aku gak terlalu menanggapi isu ini sebelum aku mendapatkan pelatihan Pemberdayaan Perempuan saat Pelatihan Pencerah Nusantara VI di Jakarta dulu. Materi yang dibawakan hari itu, awalnya aku sudah tidak tertarik. Terlebih saat pemateri menjelaskan peran perempuan dan laki-laki yang disamakan dalam banyak hal. Misalnya urusan nafkah-menafkahi. Aku memang gak setuju dengan semua statement yang dikatakan sama pemateri, karena aku ingat bahwa Alquran sudah mengaturnya dengan jelas; bagaimana peran perempuan dan laki-laki, serta bagaimana Islam begitu menjunjung tinggi kehormatan perempuan dalam batas-batas tertentu.

Namun, ada satu hal yang membuatku tersadar. Mungkin teman-teman PN VI yang lain juga menyadari itu, bahwa stereotype gender sangat mempengaruhi bagaimana nasib seseorang. Dalam pelatihan itu, kami bermain sebuah permainan berjudul "Mengapa Aminah Mati" dengan menempatkan "Aminah" yang diperankan oleh Riska, dan kami menganalisis kisah Aminah. 

Dalam permainan itu diceritakan bahwa Aminah adalah seorang gadis yang terpaksa menikah muda karena adat istiadat di tempat tinggalnya yang mengharuskannya memutuskan sekolahnya hanya ke jenjang sekolah dasar. Orangtuanya bangga bahwa Aminah menjalankan syariat agama untuk menikah daripada zina dan tidak jadi perawan tua. Sebagai istri yang sholehah ia menurut apa kata suaminya bahkan tidak mengelak saat disalahkan oleh suaminya saat ia menderita penyakit yang (ia tidak tahu) bahwa itu ditularkan oleh suaminya. Dalam sebuah kecelakaan, Aminah jatuh dan baik ia maupun bayinya tidak selamat. Namun suami dan keluarganya bangga karena menganggap Aminah mati syahid karena ia mati di jalan Allah dan jaminannya surga.
Menganalisis kisah Aminah dengan menarik tali yang ternyata semakin membuat Aminah sesak dan terkungkung

Kami ber-26 masing-masing memberikan pandangan apa penyebab Aminah meninggal. Timbullah kata "jika" yang terus membuka mata kami bahwa semua itu bermula pada stereotype gender yang sayangnya sudah dianggap sebagai adat istiadat yang membudaya dan dipercaya. Semua bermula dari pandangan yang keliru tentang pembagian peran antara laki-laki dan perempuan dan bagaimana stigma yang diberikan kepada masing-masing. Dapat dilihat di gambar itu, bahwa stereotype gender yang salah bisa membuat hidup seseorang terkungkung dan sempit, padahal ia mempunyai hak atas hidup dan kehidupannya.

Kembali ke dunia nyata, aku berharap kisah Aminah hanya fiktif belaka. Dalam keseharian saja, sudah terlalu biasa kita melihat bagaimana stereotype gender itu bekerja:
1. Istri/wanita bertugas di dapur, sumur, kasur dan bertanggungjawab untuk mengurus rumah tangga.
2. Suami/lelaki bertugas mencari nafkah
3. Pendidikan anak di rumah merupakan tanggungjawab ibu karena ayah sudah bertanggungjawab mencari nafkah di luar rumah.

Perempuan sebagai kaum yang secara gender dipandang berada di bawah lelaki cenderung disalahkan dan diberi beban moral dan sosial yang lebih berat. Namun, di antara kepesimisan kita terhadap isu stereotype gender ini, ada beberapa fakta yang kulihat di keseharianku disini:

1. Suami yang bekerja di rumah dan membantu istri mengurus rumah tangga sementara istrinya bekerja di luar rumah. 

Ini terjadi sama ibu kos kami disini. Beliau adalah seorang PNS sementara suaminya membuka usaha fotokopi dan stationary di rumahnya. Alasan pasutri itu, katanya pasangan itu saling melengkapi. Jika keduanya bekerja di luar rumah, maka siapa yang akan mengurus rumah? Dan si suami mengalah karena istrinya lebih dulu mendapat pekerjaan sebagai PNS.
Source: google.com

2. Bapak yang mengantar balitanya datang ke posyandu.

Ini baru sekali kutemukan sih, saat kami sedang membantu pelaksanaan posyandu di satu desa, kemudian di tengah hiruk pikuk ibu-ibu yang datang sembari menjaga anak-anak mereka bermain, ada seorang laki-laki yang menghibur anaknya dengan tujuan supaya anaknya tidak takut saat harus berbaring di dacin (timbangan kain). Bapak itu juga yang menemani anaknya dan menenangkannya saat harus menerima imunisasi.

3. Kader posyandu laki-laki

Kebanyakan kita menermukan kader posyandu adalah seorang perempuan. Itu juga yang membuatku kaget dan takjub saat dikenalkan dengan seorang kader posyandu di salah satu desa yang merupakan seorang laki-laki. Bukan main lagi, Beliau juga seorang guru SD. Ketika kutanya apa alasan ia mau jadi kader posyandu, katanya ia ingin belajar kesehatan. Pasalnya ibunya sakit dan ia perlu belajar bagaimana merawat kesehatan ibunya. 


Lihat, betapa 3 hal yang kutemukan itu bisa membuatku optimis bahwa stereotype gender kadang harus dikesampingkan. Aku memang belum menikah dan mengetahui betul bagaimana keruwetan hidup berumah tangga itu. Aku juga setuju bahwa ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya, tapi tidak serta merta hal itu harus dicover semua oleh ibu atau wanita. Suami atau laki-laki sebagai kepala rumah tangga yang memiliki tanggungjawab paling besar terhadap keluarganya harusnya bisa bekerjasama baik dengan istrinya.

Lagi-lagi, aku percaya bahwa alangkah baiknya sebelum kita menjudge sesuatu, kita bukan menanyakan "what" tapi "why". There is always a reason for a thing. Terlebih, kita bukan Tuhan yang bisa membenarkan sesuatu atau menyalahkan sesuatu dari pandangan kita yang hanya manusia biasa. Wallahu a'alam bishawab....


Bagaimana pandanganmu tentang isu ini? Yuk diskusi, tapi aku harap kita bisa slaing mengkritisi dengan sopan ya ^_^




0 komentar:

Posting Komentar