Rabu, 27 Juni 2018

Pencerah Nusantara VI Muara Enim

Kali ini aku mau ceritain teman-teman tim ku di Pencerah Nusantara VI Muara Enim. Aku ingat banget saat pembagian tim diumumkan, aku "ngah-ngoh" aja tahu nama-nama mereka. Edo Prabudi Thamrin dan Eka Putri Puspita Aryanti. Mereka adalah dokter umum dan Bidan. Masih saja shock karena tau kalau setim cuma bertiga, jumlah yang benar-benar tidak pernah kubayangkan sebelumnya karena angkatan sebelum-sebelumnya saja minimal 4 orang satu tim. Memang dari sejak direct assesment di Jakarta dulu aku sudah tahu kalau jumlahnya akan berkurang, jadi aku agak optimis karena hanya sekitar 54 orang yang mengikuti DA dan dalam bayanganku akan ada 32 orang yang diterima. Sebuah persentase saingan yang tidak terlalu besar bukan?

Ingat saat pengumuman aku langsung pesimis saat tahu kalau hanya 26 orang yang diterima sebagai Pencerah Nusantara VI. Bayangkan, dari 5000++ orang dan aku terpilih jadi 60 orang di antaranya yang dapat kesempatan untuk mengikuti seleksi lanjutan saja, itu sudah "unbelievable thing". Lalu, dari 60 orang jadi 26 orang beruntung? Aku bahkan perlu 3 kali menelusur nama-nama disana sampai sadar kalau "Fitriana Puspitarani" yang dimaksud itu aku. IYA, segila itu aku. Ga ada ekspektasi apapun sampai yang bisa kulakukan cuma memeluk Mama yang lagi masak di dapur dan menangis haru.

Jadilah malam itu sebelum tidur aku ngepoin sosial media teman-temanku. Tahulah aku bahwa Edo Prabudi Thamrin itu seorang keturunan Cina yang tinggal di Jakarta, seorang Katolik dan menamatkan pendidikan dokter di Universitas Indonesia. Satu lagi, Eka Putri Puspita Aryanti, adalah anak seorang prajurit TNI, mojang Bandung dan seorang bidan lulusan berprestasi I di kampusnya. Ah syudah, malam itu aku gak bisa tidur sampai subuh. Paginya aku bangun dengan kepala berat dan dengan lesu aku cerita ke Mama. Aku pesimis, aku pikir mereka adalah high-level people yang aku di antara mereka tuh hanya remah-remah roti. Kenapa bisa aku dibarengkan mereka?? Aku banyak kenalan sama teman-teman seleksi di Jakarta dulu, tapi wajah mereka belum pernah kulihat. Kenapa aku gak dibarengkan Taufik, Mepsa, Nur, atau Brian aja yang aku dah pernah ngobrol bareng??

Tapi setelah bertemu langsung sehari sebelum memulai pelatihan di Jakarta, aku pikir aku akan baik-baik saja sama mereka. Apalagi saat harus hidup susah dan terbatas di hutan di Kabupaten Bandung saat pelatihan survival, aku tahu kalau mereka adalah orang-orang yang bisa diajak susah dan tak mudah mengeluh. Terbukti saat kami membuat kesalahan menghabiskan semua bahan makanan saat makan siang (ideku, karena kupikir malamnya kami akan diberi bahan makanan baru) tapi ternyata kami harus makan dedaunan hutan untuk makan malam, gak ada yang ngeluh. Kami bahkan meminum air sulfur berbarengan dan menderita bibir pecah-pecah kekuningan berbarengan juga. 

Tapi aku tahu, waktu itu masing-masing dari kami seperti masih "saling tidak percaya" satu sama lain. Terlebih Bang Edo, dia sangat pendiam dan aku awalnya pesimis dia bisa diandalkan. Pikirku, dia seorang dokter, berasal dari keluarga berada, pantaslah dia kaku kalau pegang golok, apalagi dia sampai harus diajarin buat nebang pohon. Duhh....

Tapi, ternyata dia cepat belajar. Hari berikutnya, dia sudah bisa "membuka lahan" dan mengambil alih tugas berat serta membantuku yang sudah dongkol-laper-kesel berlecet-lecet menarik tali untuk membangun tenda. Dia tahu harus membantu di bagian mana dan tidak perlu kuminta untuk langsung bergerak mengerjakan hal lain. Jadilah dulu tenda kami bisa berdiri tepat pada waktunya dan kami bisa disiplin membereskan jejak-jejak sebelum fajar tiba. 

Kalau Eka, awalnya kukira dia tipe yang lebih nyaman dengan orang lain karena dia lebih sering bersama dengan teman-teman yang lain. Belakangan aku tahu kalau dia memang tipe ekstrovert, satu-satunya ekstrovert di tim kami dan ternyata dialah yang paling perhatian sama tim kami. Diam-diam dia membuat mapping tentang aku dan Bang Edo: hal-hal yang kami suka dan tidak suka, serta bagaimana harus bersikap pada kami. Kalau kata bang Edo, Eka itu seperti malaikat di tim kami. Dia orang yang paling bisa mengalah dan gak bisa marah. 

Jadi, ini kujabarkan sedikit tentang mereka ya...
dr. Edo Prabudi Thamrin

Kami memanggilnya Bang Edo, karena kalau kupanggil Mas itu akan terasa tidak pas dengan wajahnya yang Cina tulen itu. Tapi kalau kupanggil Koko, kok ya makin lucu. Dia 2 tahun lebih tua dariku, dan dia seorang dokter yang baru saja menyelesaikan internshipnya di Sorong, Papua beberapa hari sebelum memulai pelatihan. Dulunya dia aktif di BEM FK UI dan dia itu dokter pertama yang kukenal yang tulisannya bagus. Beneran deh, tulisan dia itu rapi, jelas, dan bagus. Dia juga seorang dokter yang tidak berorientasi pada kursi empuk di ruangan ber AC di rumah sakit besar, dia malah lebih memilih mengembangkan klinik sosial di pedalaman NTT. Dia idola hampir semua orang karena selain wajahnya yang charming, pintar (kukira paling pintar) dan seperti ensiklopedia berjalan karena dia tahu hampir semua buku yang disebutkan fasilitator pelatihan jadilah dia menjadi favorit entah itu peserta, panitia, maupun pelatih kami. Dia orang yang gak mau terekspose, tapi semua orang berusaha mencari tahu tentangnya dan berlomba-lomba menceritakan tentangnya. Kalau aku nulis tentang dia bukan karena ikutan berlomba ya, kalau kataku "menulislah supaya orang lain tahu kalau kamu pernah dan masih hidup".

Eka Putri Puspita Aryanti, Amd.Keb

Eka adalah mojang Bandung asli Grobogan Jawa Tengah yang seumuran sama aku. Dia dulunya seorang analis kimia yang hijrah menjadi bidan namun bercita-cita mempelajari ilmu kesehatan masyarakat. Seorang gadis yang hobinya nyanyi dan main gitar, dan sering bikin aku ngah-ngoh karena gak paham sama nyanyiannya. Dia juga seorang pujangga karena hobi menulis puisi. Ngakunya dia fansku, karena pernah baca novelku yang "Alter Ego" dan merasa terharu karena akhirnya bertemu dengan penulisnya dan bahkan tidur-makan-hidup bersama selama setahun ke depan. Sebagai seorang Jawa tulen, jadi aku merasa punya teman buat "misuh-misuh" dalam bahasa Jawa dan itu melegakanku. Karena secara bulan lahir aku lebih tua darinya, dia memanggilku dengan embel-embel "Mbak" dan dia jadi orang yang paling sabar menghadapiku. Dia punya banyak pengalaman praktik sebagai seorang bidan dan aktif di Forum Indonesia Muda jadi punya koneksi banyak.

Yah, jadi itulah mereka. Orang yang sudah 4 bulan ini kulihat dari membuka mata sampai menutup mata, makan bareng, hujan-hujanan bareng, hidup susah-senang bareng. So far, aku merasa beruntung bisa ditempatkan bersama mereka dan terus belajar bertoleransi. Setiap orang memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing, dan sudah jadi tugas kami untuk hidup bersama saling melengkapi selama setahun ke depan. 

Saling terbuka dan menghargai satu sama lain, itu jadi hal yang terus kami usahakan agar tidak terjadi konflik. Dari awal, kami sudah memetakan sifat dan kebiasaan kami, sehingga kami tahu sama tahu dimana kami harus menempatkan diri. Hal-hal yang kukhawatirkan sebelumnya tidak terjadi. Misalnya dulu aku khawatir karena baru pertama kali ditempatkan dan harus berada dekat dengan orang yang berbeda agama, tapi ternyata Bang Edo sebagai minoritas memiliki toleransi yang besar terhadap perbedaan di sekitarnya. 

Justru dialah orang yang menemani kami berpuasa 30 hari penuh bahkan tetap berpuasa meskipun aku dan Eka absen puasa karena berhalangan. Justru dialah yang menemani kami salat di masjid dan menjaga barang-barang bawaan kami. Justru dia yang mau duduk di tengah-tengah majelis dan terdiam mengikuti kami mengaji dan tahlil. Jika kukira Eka adalah seorang high-class person karena terlahir dari seorang prajurit TNI, justru dialah orang yang paling bisa menahan diri dari hedonisme dan kesombongan. 

Sudah dua purnama kami lewati bersama di tempat yang kami baru sama-sama sambangi. Masih ada 10 purnama lagi dan kuharap mereka akan terus bersabar dan menemaniku berproses. Jika besok kami kembali dipertemukan dalam kesempatan lain, kuharap mereka akan menemuiku dalam keadaanku yang lebih baik setelah belajar hidup bersama mereka. Dan kuharap jika mereka membaca tulisan ini, mereka akan tersenyum dan mengatakan bahwa mereka mengenalku dengan baik.


Pencerah Nusantara VI Muara Enim
(Tim Kalem)

Muara Enim, 27 Juni 2018

Dariku, orang yang masih terus belajar dari kalian

Rani







0 komentar:

Posting Komentar