Selasa, 08 Mei 2018

Ingin Mencerahkan melalui Pencerah Nusantara


Pertama kalinya aku mengetahui gerakan ini, Nilna yang kasih tau. Waktu itu kami sedang berdiskusi mengenai apa yang akan kita lakukan setelah lulus kuliah. Nilna bilang dia ingin mengabdi, ikut Nusantara Sehat, yaitu program Kementerian Kesehatan untuk menguatkan layanan kesehatan primer di Indonesia dengan menempatkan tenaga kesehatan (dokter, perawat, bidan, tenaga kesmas) di puskesmas daerah 3T Indonesia selama 2 tahun. Aku langsung heran waktu itu, kupikir itu waktu yang sangat lama untuk mengabdi. Apalagi, di pedalaman? Kasian banget masa mudanya dihabiskan di pedalaman.

Tapi Nilna bilang, kalau mau yang lebih cepat, ikut Pencerah Nusantara aja. Sumpah ya, temenku satu ini updatenya tentang dunia kesehatan joss banget. Jadi salah deh kalau banyak temen yang bilang aku adalah orang yang selalu update hehe. Katanya Pencerah Nusantara itu hampir sama dengan Nusantara Sehat, hanya saja waktunya cuma setahun. Selepas itu, aku ingat kalau aku langsung surfing di websitenya PN (pencerahnusantara.org) dan sekilas membaca dua menu: Tentang Pencerah Nusantara dan Menjadi Pencerah Nusantara.

Baru sekali baca, aku langsung tertarik. Itu beberapa bulan sebelum kelulusanku. Dan ketika kubuka, kebetulan ada info rekrutmen, tapi bunyinya cuma gini “Open Recruitmen on October”. Aku langsung tertegun, inikah cara Tuhan mengenalkanku pada maksud di balik semua cobaan yang menimpaku dalam menyelesaikan kuliah? Aku berkali-kali mengeluh bahkan hampir berontak karena merasa sudah lelah dipermainkan oleh waktu yang selalu berjalan tidak seperti harapanku. Semua yang kurencakan harus mundur beberapa waktu, dan ternyata, inilah alasannya. Aku wisuda di bulan September, jadi pas banget dong Oktober ada pembukaan pendaftaran.

Oke, klarifikasi untuk kalimatku ini ya, “Kasian banget masa mudanya dihabiskan di pedalaman”. Lagi-lagi, karena ENJ, aku tahu bahwa pilihan untuk mengabdi di pedalaman gak salah kok. Menarik malah. Gini lho, aku dari lahir hingga besar berada di Pulau Jawa, di kota industri which is everything is easy to get. Serba ada gitu. Tapi begitu aku coba ke pulau lain yang lebih kecil dan aksesnya terbatas, aku menemukan fakta lain. Kukira warga disana bakal mengeluh mengenai keterbatasan mereka, paling gak sama lah dengan mayoritas warga yang kudatangi untuk pendataan kesehatan di Pulau Jawa ini. Mereka selalu mengeluh “gak punya uang mbak” atau “beras di rumah tinggal dikit mbak” atau “gimana mau makan bergizi mbak, yang dimasak aja gak ada”.

Padahal, mereka yang di pulau nunjauh disana, ketika kutanya. “Gak ada pasar? Terus beli-beli kebutuhan sehari-hari dimana?” atau ketika aku mengeluh “aku gak bisa kalau gak makan sayur”. Jawaban mereka hanya “kami merasa cukup, hidup dengan apa aja yang ada di sekitar kami”. Gila kan, ternyata aku terlalu manja. Cobalah hidup dan berbaur dengan masyarakat di pedalaman, aku bisa jamin kalau selepas itu, karaktermu akan berubah.

Jadilah aku mendaftar Pencerah Nusantara, beberapa hari sebelum deadline tepat saat aku baru pulang dari Pulau Tidung untuk pengabdian ENJ. Saat itu pun aku masih agak ragu, karena STR belum jadi (kata admin IG nya, diutamakan yang punya STR) dan masih meyakinkan diri apakah aku siap meninggalkan kehidupan pribadiku untuk mengabdi selama setahun di tempat yang mungkin gak bakal senyaman di rumah sendiri.

Selepas mendaftar Pencerah Nusantara, aku sibukkan diri dengan membantu Puskesmas di dekat rumah untuk pendataan keluarga sehat, ditambah aku tetap melamar pekerjaan lain. Seperti sudah diatur, gak ada satupun lamaran pekerjaanku yang berhasil. Padahal sebelum dapat ijazah pun, ada beberapa tawaran pekerjaan yang kutolak. 

Bulan Januari, pengumuman tahap 1 Pencerah Nusantara. MasyaAllah, tak pernah terpikir akan ada namaku tertulis jelas sebagai satu dari 60 orang terpilih menyingkirkan ribuan orang pendaftar. Merasa ini hanya keberuntungan, aku menyiapkan diri dengan begitu keras. Ngepoin Pencerah Nusantara, berlatih psikotes, berlatih wawancara, dan berlatih FGD bersama beberapa teman ENJ yang saat ini sedang bertugas sebagai Nusantara Sehat di Riau. FYI, Nusantara Sehat adalah program replikasi Pencerah Nusantara yang diadopsi oleh Kementerian Kesehatan RI untuk penguatan layanan kesehatan primer di Indonesia. Kebanyakan orang hanya mengetahui tentang Nusantara Sehat, padalah karena Pencerah Nusantara lah Nusantara Sehat itu ada.


Sebulan lebih persiapan, banyak orang yang kurepotkan untuk bertanya maupun berlatih. Berlatih tes psikologi, wawancara, hingga beberapa kali latihan melakukan FGD dengan seorang teman kenalan sewaktu ENJ yang saat ini sedang bertugas di Nusantara Sehat. Setelah sengaja libur 2 minggu sebelum hari H, akhirnya aku datang ke Jakarta untuk mengikuti seleksi tahap 2. Aku berangkat bersama dengan Mbak Nisa, seorang lulusan biostatistik UNDIP yang kebetulan rumahnya juga di Kabupaten Tegal.

Sampai di Jakarta, orang-orang yang kuingat kutemui pertama kali di gedung Jiwasraya, Jaksel adalah Taufik dan Brian. Kebetulan aku dipasangkan dengan Brian sebagai teman sekamar. FYI, Brian ini cewek lho ya. Kami sebagai peserta seleksi hari terakhir, banyak sekali mendapat "bocoran" mengenai rangkaian tesnya termasuk penguji yang menurut mereka perlu diwaspadai. Malamnya, kami belajar bersama di ruang tengah di depan kamar kami. Bukannya aura kompetisi yang kami rasakan, melainkan motivasi yang kuat untuk saling ditularkan. Kami saling berbagi info mengenai tips dan trik untuk tes besok paginya.

Malamnya, aku benar-benar gugup. Aku memaksakan diri untuk tidur, tapi susah. Sampai paginya, sedari pagi aku sudah migrain. Kucoba untuk tetap fokus saat mengerjakan tes psikologi yang sampai 5 jenis itu. Yang paling bikin senewen sih tes koran ya. Tapi serius deh, itu adalah tes psikologi terumit yang pernah kujalani. Kupikir, CISDI benar-benar selektif, lalu aku mulai down. Tapi teringat sama kata-kata Kak Nindi, Direktur Program Pencerah Nusantara, bahwa "Pencerah Nusantara bukan untuk orang-orang yang lemah, Pencerah Nusantara akan memilih orang-orang yang tangguh." jadi aku meyakini kalau akulah orang yang tangguh itu. Dari 60 orang yang namanya ada di pengumuman seleksi tahap 1, hanya sekitar 53 orang yang datang ke Jakarta untuk mengikuti seleksi. Kupikir sainganku akan lebih mudah, itu salah satu hal yang memotivasiku juga.
Suasana ruangan psikotes


Kami dibagi ke dalam 5 kelompok yang akan menjalani FGD bersama-sama. Belum selesai tes psikologi (saking banyaknya) kami diminta untuk berpindah ruangan untuk melaksanakan FGD. Sebelumnya kami diberikan kasus untuk dicari solusinya. Lalu berlima di dalam ruangan FGD, disaksikan sekitar 3 orang panitia, kami melaksanakan FGD. Aku mengingatkan pada diri untuk tidak terlalu mendominasi dalam diskusi, tapi sebisa mungkin aktif memberikan pandangan. Tapi, aku sempat pesimis juga karena rekan kelompokku adalah orang-orang berpengalaman, kritis, dan juga vokal. Keluar ruangan FGD pun aku masih bertanya-tanya pada diri sendiri apakah tadi aku terlalu mendominasi.

Aku di Kelompok 1 untuk FGD

Selesai FGD, kami kembali melanjutkan tes psikologi untuk menggambar pohon dan orang, sambil beberapa orang dipanggil untuk wawancara one by one. Masuk ke sesi wawancara, yaitu sesi yang paling menegangkan buatku. Aku menunggu terasa lama banget sampai sakit perut karena itulah gejala psikosomatisku kalau lagi gugup. Aku sampai lupa untuk memakan snack yang ada di depanku, saking gak nafsunya. Mendengar dari ruang sebelah, suara pewawancara sangat keras dan terdengar mengintimidasi, aku semakin panas-dingin.

Suasana wawancara 

Hingga sampailah namaku dipanggil, aku masuk ke ruangan yang sebelumnya jadi ruang FGD ku. Di sana sudah disusun satu meja panjang dengan 4 orang di belakang meja (2 orang alumni PN, 1 orang mitra, 1 psikolog), serta 2 orang yang mengawasi di dekat situ. Aku duduk di satu-satunya kursi di tengah ruangan, mencoba untuk tetap rileks. Jawaban-jawaban yang telah kusiapkan sebelumnya ternyata tidak perlu kugunakan, karena pewawancara lebih tertarik mendengar ceritaku tentang proyek penelitian dan pengabdian yang pernah kulakukan. Aku mencoba menjawab senetral mungkin dan sejujur mungkin, karena aku percaya jawaban jujurlah yang terbaik.

Sempat ada satu pertanyaan pewawancara yang menohokku sih, dan aku hampir saja gugup dan salah tingkah, tapi aku coba menunjukkan wajah yakinku. Aku sudah tidak lagi memikirkan apa yang dipikirkan mereka tentang jawabanku, kupikir yang terbaik saat itu adalah merasa yakin dengan jawabanku.

Selesai semua rangkaian tes hari itu, kami menghabiskan waktu sekitar 8 jam untuk 3 rangkaian tes. Aku sudah tidak lagi memikirkan mau main atau bertemu dengan teman di Jakarta, atau berjalan-jalan dengan teman-teman yang tes hari itu. Aku sampai menyembunyikan informasi keberadaanku dari teman-temanku, sengaja gak memberi kabar kepada mereka bahwa aku mendaftar dan mengikuti seleksi Pencerah Nusantara di Jakarta. Pasalnya, aku tidak percaya diri. Sampai-sampai atasanku di Puskesmas saja tidak kukabari mengenai kepergianku.

Pulang dari Jakarta, perasaanku campur aduk. Berusaha untuk tidak terlalu memikirkan, aku kembali pada rutinitasku di rumah. Tapi, tak dipungkiri bahwa aku dan teman-teman lainnya yang mengikuti seleksi tahap 2 pun menunggu hari pengumuman tiba. Pasalnya, panitia tidak memberi tahu waktu pengumuman. Hampir tiap hari aku selalu memeriksa semua medsos PN, berdoa siang-malam memohon kesabaran untuk menunggu.

Aku benar-benar masih tidak percaya diri sampai hari pengumuman tiba dan aku sengaja menyibukkan diri dengan merekap kerjaan dari pagi sampai siang, tapi tetap gugup juga. Sakit perut hebat aku waktu itu. Sampai kemudian ada postingan terbaru di IG Pencerah Nusantara yang mengabarkan bahwa mereka hanya menerima 26 orang, langsung turun semangatku. Aku memang sudah diberi tahu Kak Mala, PJ seleksi tahap 2 hari ketiga, bahwa akan ada pengurangan jumlah untuk tahun ini. Tapi, aku tidak menyangka bahwa jumlahnya akan berkurang lebih dari setengahnya.

Saking gugupnya, aku sampai perlu 3 kali mengecek nama-nama di pengumuman sampai sadar bahwa "Fitriana Puspitarani" yang dimaksud di situ adalah diriku. Langsunglah aku lari ke dapur dan mengabarkan ini ke Mama, kami berpelukan dan saling terharu. Lemas, gugup, dan rasa tidak percaya.


Saat itu aku benar-benar yakin bahwa Tuhan tidak akan pernah salah. Segala penantian, segala ketidaksabaran yang kurasakan, akhirnya terjawab sudah maksud dari semuanya. Bahwa semua sudah diatur sedemikian rupa, dan Tuhan selalu memiliki cara untuk mewujudkan doa hambanya.


0 komentar:

Posting Komentar