Kamis, 15 Februari 2018

Stop to Judging Others

Aku dan Mereka Berbeda, Lalu Mengapa? 

Hehe ada dua judul ya di post ini. Awalnya aku mau pakai judul "Aku dan Mereka Berbeda, Lalu Mengapa?" tapi kayaknya lebih umum kalau judulnya "Stop to Judging Others" ya, biar mudah terdeteksi gitu hehe....

Postingan kali ini aku mengangkat tema yang agak berbeda ya. Setelah nonton channel youtube Gitasav, dan beberapa kali juga terpapar pada dailylife story dari teman-teman dengan tema yang mirip-mirip, akhirnya kumantapkan untuk menulis ini.

Dulu sewaktu merantau ke Semarang untuk kuliah, aku datang sebagai orang yang benar-benar baru dan sendirian. Ini juga salah satu hal yang bikin aku galau berhari-hari tentang apakah aku akan mengambil kuliah dengan beasiswa ini apa enggak. Alasannya adalah, aku belum pernah terpisah jauh dari orangtua dan baru memiliki sahabat-sahabat yang kuanggap baik. Jadi, berat banget kan ketika gak ada satupun sahabatmu yang bisa menemani hari-harimu di tempat baru tanpa merasa asing.

Aku ingat banget sewaktu baru datang ke kampus untuk pembekalan, kenalan sama orang baru dari berbagai daerah dan gak ada orang lain yang bisa kuajak ketawa ketiwi like the old friend. Kemudian aku ngekos di tempat yang isinya adalah maba (mahasiswa baru) semua dari daerah yang walaupun masih di Jawa Tengah, tapi tidak ada yang berasal dari daerah pantai utara jawa sepertiku.

Aku gak akan cerita tentang betapa beratnya pulang-pergi dari dan ke kampung halaman sendirian dan merasa kesepian, tapi aku akan cerita tentang bagaimana awalnya (bahkan kadang sampai sekarang) aku melihat daerah dan suku mereka sebagai “oh ini to watak orang dari daerah/suku ini”. Terlebih rombongan belajar (rombel) di perkuliahanku isinya lebih beragam lagi, gak semuanya orang Jawa, malah ada yang dari Afrika.

Perbedaan dan keragaman yang tiba-tiba muncul di keseharianku awalnya bikin kaget ya, terkadang jika terlibat dalam obrolan tentang budaya di daerah kami, aku terlalu mendalami peran hingga sampai ke tahap etnosentrism (paham yang percaya bahwa budaya sendiri lebih baik daripada budaya lainnya).

Hal itu masih sering terjadi bahkan setelah aku mengikuti kegiatan yang melibatkan orang dari berbagai daerah, suku, dan budaya di Indonesia. Ya, momen ENJ saat ini masih menjadi trending topic yang banyak berperan dalam mengubah (secara perlahan) karakterku.

Anggota tim-ku berasal dari beragam daerah dan suku di Indonesia; Jawa, Sunda, Melayu dan aku mendapatkan orangtua asuh di Bangka Belitung yang berasal dari suku Melayu dan Buton. ENJ-ku yang kedua lebih beragam lagi, karena anggotanya berasal dari perwakilan 34 provinsi di Indonesia. Sampe di satu kesempatan sidang pleno untuk membahas keberlanjutan organisasi, ada seorang teman yang nyeletuk. "Tuh gitu tuh cirinya kalau orang timur (read: Indonesia bagian timur) menyampaikan pendapat, mereka pasti berdiri di saat yang lain bisa nyaman ngasih pendapat dengan duduk di tempat". Aku cuma ber-oh ria, tapi tentu saja itu masuk dalam catatanku. Dalam hati aku ikut nge-judge "oh begitu ya sifatnya suku X".

Aku ingat banget, saat pulang dari Pulau Mendanau, di atas kapal, kami (10 orang) main game truth or dare. Mengingat kami belum banyak merasakan kebersamaan karena kami tinggal di rumah orangtua asuh yang berbeda (setiap 2 orang dari kami mendapat 1 ortu asuh), jadi kami putuskan permainan itu sebagai cara kami lebih mengenal satu sama lain, sebelum dalam hitungan kurang dari 3 hari kami semua akan berpisah.

Aku, yang kata banyak orang, suka ngomong terlampau jujur, mengatakan pendapatku kepada seorang gadis Melayu Jambi, dan berkata bahwa aku kurang suka pada sikapnya yang terlalu nyablak kalau ngomong dan suka nemplok sana sini. Aku ngomong gitu gak mengaitkan dengan sukunya sih, tapi yang salah adalah alasan yang kuutarakan padanya. Kira-kira begini ucapanku; “kalau di Jawa, perempuan itu harus lemah lembut, tindak tanduknya dijaga, itu juga untuk menjaga kehormatannya.”

Begitulah. Sedetik setelah mengatakan itu rasanya aku ingin menampar mulutku yang terlampau lancang ini. Bisa-bisanya topik ini masuk dalam obrolanku. 

Itu adalah cara yang salah menurutku untuk menilai seseorang ya. Sama seperti yang dikatakan Gitasav di vlog nya tentang Hate Speech, yaitu komentar yang kita berikan pada orang lain at the first sight. Bukan komentar yang diberikan karena kita sudah tahu banyak dan mendalam tentang orang itu.

Terkadang kalau aku lihat komentar di postingan instagram seorang public figure, aku menemukan banyak yang mendukung (dia fans nya sih) tapi satu-dua orang juga tanpa tedeng aling-aling langsung nge-judge buruk. Kadang juga aku mengamini hate speech-nya, berharap doi akan sadar setelah dikritik begitu.

But hey, apakah kamu mengenalnya dengan baik hingga kamu bisa mengatakan dia buruk?

Seperti yang Gita bilang, boleh mengritik dan memberi saran, tapi memaksakan saran “baik” versimu itu sangat tidak baik. Seperti yang pernah kutulis di salah satu paragraph novel Alter Ego begini;

…Sebuah kata bernama karakter, yang terbentuk dari serangkaian fenomena kehidupan yang berbeda di antara semua umat. Ketika angin berembus kencang dan memporak-porandakan naungan manusia bernama rumah dan isinya, orang-orang hanya bisa menangis mencari siapa tangan yang patut dipersalahkan….

Begitulah, menurutku orang berbuat dengan latar belakang peristiswa yang pernah terjadi di hidupnya. Misalnya, "dulu dia lemah lembut, tapi kini dia kasar sejak orang-orang melecehkannya". Atau, "dulu dia sangat jelek dan malas merawat diri, tapi kini dia jadi sangat cantik karena dia ingin menjadi public figure". There is too much reasons that cause people change her/himself, and people can change every time they want to.

Dulu, aku pernah punya prinsip bahwa “mencegah orang lain berburuk sangka pada kita adalah salah satu bentuk ibadah. Jadi, berperilakulah sewajarnya seperti yang orang biasa lihat dan jelaskan apabila mereka salah paham”. 

Tapi, aku dibenturkan pada kenyataan bahwa beberapa orang tetap tidak bisa menerima, atau selalu saja ada salah yang dilihat orang, atau “I can't be myself if I heard other people wants me to change myself”. Jadi, kupikir jadi diri sendiri selalu jadi solusi terbaik. Bahwa orang yang mengertimu tak akan bertanya, dan orang yang membencimu akan terus bertanya tapi tak akan percaya.

Merujuk pada netizen yang sangat sulit diberi nasihat atau teguran, kadang capek sendiri ya. Niatnya mau ngasih nasihat baik, kok malah disangka gak baik dan dipanasin buat memancing pertengkaran. Ditanggepin bikin tambah panas, gak ditanggepin gengsi. Aku sedikit ngerti deh gimana perasaan para public figure yang punya banyak haters. Ditanggepin salah, gak ditanggepin dibilang sombong dan gak mau nerima kritik.

Sedikit banyak sama sih dengan yang kualami. Ketika ada beberapa akun facebook yang tiba-tiba ngechat atau kirim pesan di email, berkata bahwa mereka adalah penggemar novelku, tapi ujungnya dia minta aku buatin review bukuku buat tugas sekolah mereka. Ngerti kan review buku itu ya ditulis sama orang yang udah baca bukunya, masa iya penulis udah capek-capek nulis masih harus buatin review juga? Bisa sih, kalau aku menggunakan kesempatan itu sebagai ajang promo juga. Tapi, lucu aja sih bagiku kalau aku jadi terkesan begitu membanggakan karyaku. 

Jadi, kamu gak bangga sama karyamu Ran? Bukan begitu, tapi bagiku yang paling berhak menilai karyaku adalah mereka yang menikmati karyaku. Dengan begitu kami impas. Aku menulis buku untuk menyalurkan hobiku, dan pembaca menikmati karyaku. Review apapun yang ditulis pembaca, itulah caraku menilai karyaku. Karena jika aku yang menilai karyaku sendiri, itu bisa saja lebih. Lebih kurangnya, atau lebih baiknya. Jadi, aku lebih percayakan pada review yang ditulis orang lain (yang tidak mengenalku secara pribadi) tentang karyaku.

Eh jadi ngelantur kemana ini. Intinya, sudahkah kamu memfilter mulutmu?

Jangan mengatakan sesuatu yang kamu tidak ingin dengar dari orang lain, dan jangan memperlakukan orang lain sebagaimana sesuatu yang tidak ingin dilakukan orang lain terhadapmu. Karena kalau kita udah kenal orang lain, apapun yang dilakukannya pasti membuat kita maklum. Oh dia begini karena begitu.

Okedeh, sampai sini dulu nulisnya. Pembahasan selanjutnya, aku lebih suka kita berdiskusi. Jadi, bagaimana pengalamanmu?

0 komentar:

Posting Komentar