Jumat, 09 Februari 2018

Potret Pendidikan di Bumi Laskar Pelangi

Pasalnya, sewaktu kutulis draft ini aku lagi semangat karena hari itu aku dapat email dari seorang mahasiswa Fakultas Kehutanan UGM yang katanya tertarik buat tanya-tanya seputar Pulau Mendanau setelah baca tulisanku di blog yang ini dan ini.

Teringat deh keinginanku sejak lama untuk menulis tentang potret pendidikan di Pulau Mendanau pada khususnya dan Belitung pada umumnya. Sebelumnya aku juga pernah memberikan "kuliah singkat" pada teman yang baru kenal beberapa jam dan baik banget dia mau menampungku di kosannya sewaktu aku terdampar bak gembel di gedung megah UNJ, sepulang dari tugas ENJ kedua di Pulau Tidung, Kep. Seribu, DKI Jakarta.

Jadi waktu itu dia ngajakin aku nonton film Laskar Pelangi setelah aku siap-siap mandi dan merencanakan tidur gasik begitu sampai di kosannya. Katanya dia ada tugas untuk menganalisis gambaran pendidikan di bumi laskar pelangi dari film itu.

Kubilang aku baru pulang dari bumi Laskar Pelangi itu belum lama, dan bisa sedikit cerita tentang potret pendidikan dari kacamataku langsung.

Aku masih ingat banget, saat memberikan kelas inspirasi dan motivasi pendidikan lanjut di satu-satunya pendidikan menengah atas di Pulau Mendanau, yaitu SMKN 1 Selat Nasik, ada satu pertanyaan yang ternyata menjadi pertanyaan semua siswa dalam kelas saat itu. Memang saat aku menyampaikan materi, mereka semua menyimak dengan antusias dan banyak bertanya mengenai suka dukanya menuntut ilmu jauh dari orangtua.

Jadi pernyataan dari mereka yang paling menohokku adalah, "kami ingin sekali pergi keluar untuk menuntut ilmu, tapi kami takut karena kami tidak pernah pergi jauh dari pulau."

Padahal, aku udah antusias bercerita bagaimana asyiknya menuntut ilmu di perguruan tinggi ditambah ekspresi takjub mereka. Ternyata ada barrier mendasar yang membuat mereka harus menghentikan imajinasi mereka. Aku sampai perlu jeda beberapa detik berpikir untuk berhati-hati menjelaskan kepada mereka.

Aku langsung teringat pada tetralogi novelnya Andrea Hirata yang pada buku pertamanya menceritakan potret pendidikan di bumi laskar pelangi zaman dulu. Aku berpikir, bahkan setelah era gadget ini, mereka masih memiliki pemikiran yang sama? Masihkah mereka memiliki keterbatasan yang sama?

Aku mengamati ada satu akademi yang populer di kalangan pemuda-pemudi Pulau Mendanau, itu karena letaknya yang dekat yaitu di Kabupaten Belitung. Mereka hanya perlu waktu 2,5 jam perjalanan laut kesana. Ada juga sih perguruan tinggi negeri di Bangka, yaitu Universitas Bangka Belitung. Tapi untuk kesana, perlu tambahan perjalanan laut selama 4 jam ke Bangka dengan tarif yang lumayan mahal.

Aku pernah juga bertanya pada narasumber terbaik kami di Pulau Mendanau, yaitu Mas Egi. Katanya memang warga di pulau jarang ada kepentingan keluar pulau. Mereka sudah merasa cukup berada di pulau mereka. Sekarang sih masyarakat sudah mulai sadar pendidikan, walaupun belum sepenuuhnya. Menurut laporan beberapa guru yang aku temui di sekolah, masih banyak anak yang belum mencapai wajib belajar 12 tahun dan masih banyak siswa yang hanya sekadar "sekolah" tetapi sikap mereka masih belum sadar pendidikan.

Tapi hal ini memang tidak bisa dipukul rata. Ada beberapa orang asli dari bumi laskar pelangi yang justru berhasil dan membanggakan di luar sana. Mereka yang banyak kukenalkan untuk memotivasi siswa-siswi di Pulau Mendanau agar tidak ragu untuk meraih mimpi mereka.

Sejak aku pulang dari tugas di Bangka Belitung, hingga saat ini, aku banyak mendapat kabar bahwa anak-anak di Pulau Mendanau mulai berpikir untuk melanjutkan pendidikan mereka hingga jenjang tertinggi.

"Saya nak jadi Polisi, Mbak."

"Adik saye nih Mbak katanya nak jadi polisi"

Alhamdulillah...

Well, sebenarnya di sekelilingku juga masih banyak anak sekolah bahkan orangtua mereka yang terkadang satu atau dua orang bertanya padaku. Mereka terutama antusias ketika kukatakan bahwa aku menempuh pendidikan sarjana dengan beasiswa penuh dari negara melalui Bidikmisi. Aku tentu dengan senang hati berbagi pengalaman dengan mereka, dan aku akan sangat bersyukur apabila ada orang lain yang terinspirasi dan melihat keterbatasan ekonomi, jarak, dan lainnya sebagai pendorong untuk lebih giat berusaha.

Menilik kembali pada momen saat aku berada di Pulau Mendanau, justru menjadi cambuk bagiku. Bahwa mereka yang berada di pulau saja berani bermimpi dan memperjuangkan mimpi mereka. Mengapa aku yang berada di tempat yang serba mudah, mengeluh pada sulitnya memperjuangkan mimpi?

Aku, Sang Pemimpi







2 komentar:

  1. Tanpa kita sadari sebenarnya kita harus belajar dari orang-orang seperti mereka. Mereka bukan hanya punya mimpi yang tinggi tapi tekad dan semangat yang kuat. Saya jadi teringat orang tua pernah bilang begini, hati-hati dengan mereka yang tidak punya apa-apa selain semangat, kenapa mereka akan kuat berjuang tanpa takut karena tidak takut kehilangan apapun.

    BalasHapus