Rabu, 26 Maret 2014

Pendidikan Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi Penting untuk Remaja!

          Tanggal 22 Maret yang lalu aku mengikuti kelas Kesehatan Reproduksi: basic of sex education. Acara ini diselenggarakan oleh UsSeCC (Unnes Sex Care Community) sebuah organisasi yang sekarang menjadi UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa). Acara ini dilaksanakan di gedung C4 UNNES. Walaupun hampir nyasar di area fakultas ilmu sosial (FIS) akhirnya bisa nyampe setelah ketemu orang yang mau ikut acara yang sama.

            Ada dua pembicara dalam acara ini, dua-duanya dosenku di IKM. Materi yang disampaikan masih sangat umum, tapi lagi-lagi menamparku dengan sebuah kenyataan bahwa masih banyak masalah kesehatan reproduksi yang sekarang sudah semakin meluas di masyarakat. Semua berawal dari cara hidup yang salah semasa muda, termasuk pergaulan bebas yang menjadi salah satu faktor penularan HIV/AIDS.
Kasus HIV/AIDS di Propinsi Jawa Tengah dalam 5 tahun terakhir ini mengalami peningkatan yang cukup berarti, dari 14 kasus pada tahun 2000 menjadi 158 kasus pada tahun 2005. Proporsi terbesar kasus HIV terdapat pada golongan umur 20-24 tahun, sedangkan proporsi AIDS terbesar terdapat pada golongan umur 25-29 tahun, yang mana merupakan golongan umur remaja dan dewasa muda.
            Penelitian yang dilakukan oleh berbagai institusi di Indonesia selama kurun waktu tahun 1993-2002, menemukan bahwa lima sampai sepuluh persen wanita dan delapan belas sampai tiga puluh delapan persen pria muda berusia 16-24 tahun telah melakukan hubungan seksual pranikah dengan pasangan yang seusia mereka. Penelitian-penelitian lain di Indonesia juga memperkuat gambaran adanya peningkatan risiko pada perilaku seksual kaum remaja. Temuan-temuan tersebut mengindikasikan bahwa 5%-10% pria muda usia 15-24 tahun yang tidak/belum menikah, telah melakukan aktivitas seksual yang berisiko.
Selanjutnya hasil dari  penelitian mengenai kebutuhan akan layanan kesehatan reproduksi di 12 kota di Indonesia pada tahun 1993, menunjukkan bahwa pemahaman mereka akan seksualitas sangat terbatas. Temuan dari berbagai penelitian tersebut menunjukkan bahwa peningkatan aktivitas seksual di kalangan kaum remaja, tidak diiringi dengan peningkatan pengetahuan tentang kesehatan seksual danreproduksi termasuk HIV/AIDS, penyakit menular seksual (PMS) dan alat-alat kontrasepsi.
            HIV/AIDS memang butuh waktu lama buat benar-benar melumpuhkan kekebalan tubuh kita, tapi masa iya sih mau nunggu sampe imunitasmu lumpuh? Gimana sama masa depanmu?
Di atas sudah dijelaskan bahwa peningkatan aktivitas seksual di kalangan kaum remaja, tidak diiringi dengan peningkatan pengetahuan tentang kesehatan seksual dan reproduksi termasuk HIV/AIDS, penyakit menular seksual (PMS) dan alat-alat kontrasepsi. Yah, masyarakat Indonesia sendiri masih menganggap hal-hal yang berbau seksualitas itu tabu untuk dibicarakan, padahal pendidikan seksualitas yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi harus diberikan sejak usia dini agar nantinya tidak terjadi kesalahpahaman di usia remaja dan dijadikan ajang coba-coba.
Bukankah yang menentukan kepribadian seseorang saat remaja ditentukan oleh pendidikan di masa kanak-kanak? Seringkali orang tua malu untuk mengatakan yang sebenarnya saat sang anak bertanya perihal seksualitas. Mungkin yang menjadi pertimbangan adalah usia, karena anak mereka terlalu muda maka orang tua merasa risih untuk menjelaskannya.
Kemudian kurangnya bimbingan dari orang tua juga menyebabkan kesalahpahaman anak tentang seksualitas. Orang tua tentu saja tidak bisa terus mengawasi anak mereka, oleh karena itu mereka menyerahkan pendidikan anak mereka kepada sekolah. Mereka beranggapan bahwa pendidikan di sekolah lebih baik untuk membentuk karakter anak mereka, sehingga jika karakter anak yang terbentuk tidak sesuai harapan mereka, maka mereka akan langsung menyerahkan letak kesalahan pada sekolah tempat anak mereka menuntut ilmu.
Masa remaja adalah masa transisi dari anak-anak menuju dewasa. Remaja adalah anak usia 10-24 tahun. Aku sendiri yang masih remaja mengaku pernah mengalami “krisis identitas”, karena bingung menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Aku (remaja) butuh bimbinga, terutama dari orang tua. Gak masalah kalau aku pernah salah memilih, trial and error, jika tidak dicoba maka tidak akan tahu kesalahan kita. Tapi proses ini tidak bisa sepenuhnya diserahkan ke anak, mereka butuh bimbingan dan panutan yang bisa mengarahkan mereka ke dalam hal positif.
Data komnas perlindungan anak dari Januari-Juni 2008 di 33 provinsi, 97% remaja SMP dan SMA pernah menonton film porno, 93,7% remaja SMP dan SMA pernah berciuman, melakukan rangsangan genital dan oral seks, 62,7% remaja putri tidak perawan dan 21,2% remaja melakukan aborsi.
Riset yang dilakukan Kotex BodyLife Knowledge di 6 negara Asia (Singapura, Malaysia, Indonesia, Vietnam, Filipina, dan India) pada 1800 responden usia 16-24 tahun ditemukan fakta bahwa dari seluruh responden di Asia, terutama di Asia Selatan, hanya 3% dari mereka  yang dapat menjawab seluruh pertanyaan seputar pengetahuan dari tubuhnya dengan benar. Sementara itu, 8 dari 10 responden perempuan tidak mengetahui jumlah lubang pada organ intimnya.
Kurangnya pengetahuan tentang seksualitas dan kesehatan reproduki di kalangan remaja membuat mereka yang notabene adalah generasi yang rasa ingin tahunya besar, melakukan coba-coba dengan melakukan seks pranikah. Hal ini diikuti dengan penyebaran Penyakit Menular Seksual (PMS) yang tidak terkontrol. Karena kasus PMS ini seperti gunung di bawah laut. Hanya puncaknya yang terlihat menyembul sedikit di permukaan, padahal di bawah permukaan yang tidak terlihat masalah sudah semakin membesar.
Adakalanya orang tua memberikan kebebasan kepada sang anak dalam melalui masa mudanya. Namun, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan orangtua saat memberikan kebebasan kepada sang anak:
1.   Berikan pendidikan seks yang benar
2.   Cermati teman bermain
3.   Perhatikan jejaring sosialnya
4.   Berikan pemahaman agama yang benar
Nah, masihkah kalian (terutama orang tua) beranggapan bahwa pendidikan seksualitas dan kesehatan reproduksi tidak penting diberikan sejak dini? Seperti slogan kesehatan yang sudah lama dikenal di masyarakat: Mencegah lebih baik daripada mengobati.

Salam Public Health!


Sumber: 
Suryoputro, Antono. MAKARA, KESEHATAN, VOL. 10, NO. 1, JUNI 2006: 29-40.

http://muda.kompasiana.com/2013/12/26/ketika-anak-ingin-bebas-621769.html

http://books.google.co.id/books?hl=en&lr=&id=sK9qvjmvV94C&oi=fnd&pg=PA3&dq=kesalahpahaman+anak+terhadap+masalah+seks&ots=FJ1tKoNxpp&sig=bVJfoEKncOOZKSiy0CSjad7seto&redir_esc=y#v=onepage&q&f=false

1 komentar:

  1. pendidikan seperti ini memang sangat diperlukan yia bos, biar ga semakin parah yia bos..

    BalasHapus