Angin semilir. Menerbangkan daun-daun kering.
Menampakkan tanah kering. Berbatu kasar celaka kaki menapak. Aku masih terduduk
di sini. Melewati musim demi musim yang berganti. Mataku nanar menatap langit.
Berharap burung akan datang dan mengabarkan berita gembira untukku.
Aku masih di sini. Tenggelam dalam
kenangan abadi yang menghanyutkan asa. Mengapa kau begitu tega
meninggalkanku? Aku
kelimpungan mencari kabarmu. Kutunggu dengan setia saat kawan seperjuanganmu
kembali. Namun kau tak juga menitipkan salammu kepadaku. Sudah lupakah kau
kepadaku? Ataukah
obsesimu sudah mengalahkan cintamu? Rasa
rindumu padaku?
“Kenapa kamu masih menunggunya?”
ujar pria itu lagi. Ia selalu hadir di depanku dengan wajah penuh pengharapan.
Wajah yang hampir mengalihkan pendirianku.
“Apakah sudah tidak ada tempat lagi di hatimu untuk
menerimaku?” ujarnya putus asa. Aku menggeleng lemah.
“Dia tidak akan datang. Aku tak rela
melihatmu terus tersiksa karena penantianmu ini.”
“Dia akan datang!” jawabku tegas.
“Berhentilah berharap. Ia tidak
pantas mendapat pengorbananmu. Percayalah padaku, kamu akan semakin tersiksa
karenanya.”
“Biarkan aku di sini.”
“Baiklah, aku tawarkan kepadamu
untuk yang terakhir kalinya. Aku menunggumu sampai senja ini menghilang.” Dia berkata tegas lalu
meninggalkanku.
Burung-burung kembali datang.
Hinggap di puncak pohon tertinggi. Lalu terbang lagi. Ricuh. Seperti ada yang
mengusirnya. Sebentar kemudian terdengar
bunyi baling-baling pesawat mendekat. Benar saja, ada sekumpulan pesawat
tentara Indonesia yang akan mendarat di padang ini. Hatiku berdesir, akankah
segala penantianku akan berakhir hari ini?
Kuperhatikan dengan seksama tiap
orang yang melintas. Menenteng ransel yang besar-besar. Aku yakin, aku akan melihatnya di
tengah-tengah kumpulan manusia itu. Ketika aku melihat sahabatmu, aku tersenyum
penuh harap.
“Kamu menunggu Januar ya?” ujarnya
mengulum senyum. Aku mengangguk. Lalu air mukanya berubah. Aku bisa melihat
raut kebingungannya. “Aku tak tahu di mana dia. Sudah sebulan ini ia tidak
pernah lagi bersamaku. Kami dipisahkan ketika sedang menjalankan misi. Maafkan
aku,” ujarnya menyesal.
“Dia tidak pulang?”
“Aku tak tahu.”
Ah, sepertinya pertahananku mulai
runtuh. Aku terduduk lemas. Pantas saja sedari tadi aku tak juga melihatnya.
Air mataku menetes. Sepertinya kesabaranku mulai habis. Aku lelah. Sungguh
lelah dalam menahan kerinduan ini. Haruskah aku tetap bertahan dengan hal yang
tak pasti?
Aku sudah hampir berbalik arah
ketika aku mendengar suara seseorang. Seseorang yang sangat kukenal. Mungkinkah
itu dia? Aku tak memperdulikannya. Aku merasa itu hanya halusinasiku. Aku tak
boleh berharap lagi. Aku tak mau sakit lagi.
Hingga sebuah tangan kekar
mencekalku. Aku terdiam. Sentuhan ini, aku mengenalnya. Desahan nafasnya yang
memburu di telingaku, aku sangat merindukannya. Hingga sebentuk wajah yang
kunanti benar-benar ada di hadapanku, harapanku buncah kembali. Kerinduan yang
kutahan ini akhirnya pecah juga dalam sebuah pelukan kerinduan.
0 komentar:
Posting Komentar