Kamis, 12 Desember 2013

Zenith Penantian



Angin semilir. Menerbangkan daun-daun kering. Menampakkan tanah kering. Berbatu kasar celaka kaki menapak. Aku masih terduduk di sini. Melewati musim demi musim yang berganti. Mataku nanar menatap langit. Berharap burung akan datang dan mengabarkan berita gembira untukku.
            Aku masih di sini. Tenggelam dalam kenangan abadi yang menghanyutkan asa. Mengapa kau begitu tega meninggalkanku? Aku kelimpungan mencari kabarmu. Kutunggu dengan setia saat kawan seperjuanganmu kembali. Namun kau tak juga menitipkan salammu kepadaku. Sudah lupakah kau kepadaku? Ataukah obsesimu sudah mengalahkan cintamu? Rasa rindumu padaku?
            “Kenapa kamu masih menunggunya?” ujar pria itu lagi. Ia selalu hadir di depanku dengan wajah penuh pengharapan. Wajah yang hampir mengalihkan pendirianku. “Apakah sudah tidak ada tempat lagi di hatimu untuk menerimaku?” ujarnya putus asa. Aku menggeleng lemah.
            “Dia tidak akan datang. Aku tak rela melihatmu terus tersiksa karena penantianmu ini.”
            “Dia akan datang!” jawabku tegas.
            “Berhentilah berharap. Ia tidak pantas mendapat pengorbananmu. Percayalah padaku, kamu akan semakin tersiksa karenanya.”
            “Biarkan aku di sini.”
            “Baiklah, aku tawarkan kepadamu untuk yang terakhir kalinya. Aku menunggumu sampai senja ini menghilang.” Dia berkata tegas lalu meninggalkanku.
            Burung-burung kembali datang. Hinggap di puncak pohon tertinggi. Lalu terbang lagi. Ricuh. Seperti ada yang mengusirnya. Sebentar kemudian terdengar bunyi baling-baling pesawat mendekat. Benar saja, ada sekumpulan pesawat tentara Indonesia yang akan mendarat di padang ini. Hatiku berdesir, akankah segala penantianku akan berakhir hari ini?
            Kuperhatikan dengan seksama tiap orang yang melintas. Menenteng ransel yang besar-besar. Aku yakin, aku akan melihatnya di tengah-tengah kumpulan manusia itu. Ketika aku melihat sahabatmu, aku tersenyum penuh harap.
            “Kamu menunggu Januar ya?” ujarnya mengulum senyum. Aku mengangguk. Lalu air mukanya berubah. Aku bisa melihat raut kebingungannya. “Aku tak tahu di mana dia. Sudah sebulan ini ia tidak pernah lagi bersamaku. Kami dipisahkan ketika sedang menjalankan misi. Maafkan aku,” ujarnya menyesal.
            “Dia tidak pulang?”
            “Aku tak tahu.”
            Ah, sepertinya pertahananku mulai runtuh. Aku terduduk lemas. Pantas saja sedari tadi aku tak juga melihatnya. Air mataku menetes. Sepertinya kesabaranku mulai habis. Aku lelah. Sungguh lelah dalam menahan kerinduan ini. Haruskah aku tetap bertahan dengan hal yang tak pasti?
            Aku sudah hampir berbalik arah ketika aku mendengar suara seseorang. Seseorang yang sangat kukenal. Mungkinkah itu dia? Aku tak memperdulikannya. Aku merasa itu hanya halusinasiku. Aku tak boleh berharap lagi. Aku tak mau sakit lagi.
            Hingga sebuah tangan kekar mencekalku. Aku terdiam. Sentuhan ini, aku mengenalnya. Desahan nafasnya yang memburu di telingaku, aku sangat merindukannya. Hingga sebentuk wajah yang kunanti benar-benar ada di hadapanku, harapanku buncah kembali. Kerinduan yang kutahan ini akhirnya pecah juga dalam sebuah pelukan kerinduan.



0 komentar:

Posting Komentar