Sabtu, 20 Maret 2021

Kaleidoskop 2020 dan Resolusi Tahun 2021

Salam hangat dari Yogyakarta,

Udah agak telat sebenarnya ngepost ini, karena sekarang udah Maret hihi. Tapi lebih baik telat daripada tidak yakan. Sebenarnya udah ditulis dari awal Januari 2021 tapi lupa terus mau posting karena satu dan lain hal (halah... alasan).

1 Januari 2021....

Pagi ini terbangun dengan kedinginan dan badan demam, sudah 2 minggu pindah ke Yogyakarta dan ternyata masih adaptasi sama udaranya. Ini adalah kali kedua setelah tahun lalu juga melewatkan tahun baru di kota ini, dengan situasi yang mirip : tidur lebih awal. Apalagi kondisi pandemi gini kan, ditambah himbauan dari Sri Sultan juga untuk menutup semua tempat wisata pada 31 Desember pukul 18.00 WIB. Jadilah kukira semua orang merayakan dari rumah masing-masing. 

Kembali kutulis ini, sebagai rutinitas yang bagiku tidak baik dilewatkan. Menulis kaleidoskop untuk berkotemplasi pada apa yang telah terjadi selama setahun dan harapan serta mimpi untuk setahun mendatang. Ya walaupun setahun kemarin rasanya "agak beda", dimulai dengan Januari, Februari, Pandemi, lalu Desember. Bukan cuma aku mungkin yang mengalami semua perasaan nano nano di tahun ini. Tapi, coba kurangkumkan untukmu, siapa tahu kita mengalami hal yang sama, di tempat yang sama atau berbeda.

Januari 2020, aku melepas seorang sahabat karib untuk menikah. Tepat 1 Januari 2020, aku menghabiskan waktu dengan kedua sahabatku semasa kuliah dulu. Salah satunya akhirnya menemaniku berjalan-jalan di Yogyakarta, sebuah kota yang sudah sejak lama aku impikan untuk tinggal di dalamnya. Sudah jadi keinginanku sejak lama juga untuk travelling ke Jogja bersama orang-orang ini. Walaupun cuma beberapa hari, seperti biasa aku membuatnya sangat padat. Kusempatkan mampir ke kampus UGM, sekedar untuk mencari tahu, apakah keputusanku tepat. 

Kunjungan pertama ke FK-KMK UGM


Tidak lama berada disana, karena keretaku sudah menunggu untuk membawaku kembali ke Jakarta, tempatku mengais rejeki. Aku ingat waktu itu Jakarta sering sekali dilanda hujan sepanjang hari. Banjir dimana-mana, sampai berkali-kali kutanya teman di Jakarta maupun ibu kos, apakah kosku kebanjiran juga. Khawatir karena kutinggalkan ijazah, sertifikat, dll di kos. Di perjalanan keretapun, aku disibukkan mendata semua kader mitra kerja yang terdampak banjir, karena kami ingin mencoba menggalang bantuan. 

Sampai di Jakarta langsung berkutat dengan mengunjungi beberapa rumah kader yang terdampak banjir, walaupun sudah surut tapi aku bisa lihat bukti kedalaman air dari tembok yang basah. Yang mengejutkan, tingginya hampir 3 meter--tinggiku saja gak sampe 2 meter. Segala rencana kerja yang sudah kususun dari lama, buyar karena dengan banjir ini otomatis program kerjaku yang banyak di lapangan itu harus ditunda. Oke, programnya berubah menjadi penggalangan bantuan. 

Februari, hal yang kurang lebih sama. Semua orang masih recovery dari sisa banjir yang juga membuat mereka harus menata ulang apa yang dapat diselamatkan. Kami coba memulai program, tapi belum banyak orang yang bisa kembali terlibat. Ditambah kekhawatiran bahwa covid-19 dari Wuhan, China akan sampai disini. Awal bulan ini aku banyak belajar dan mengikuti ujian. Aku sempat ikut seleksi CPNS juga di bulan ini, tapi ga lolos karena kurang 1 poin di salah satu bidang tes. Jarak sehari dari tes CPNS, aku ikut tes AcEPT (TPA nya UGM) tapi malah dapat nilai yang lebih dari cukup disini. Keliatan ya niatnya lebih besar kemana.

Maret, apa yang dikhawatirkan semua orang terjadi, covid-19 sudah sampai di Indonesia. Laporan pertama 2 orang pasien ibu dan anak dari Depok. Jakartapun bersiap, khususnya Rumah Sakit Paru yang mana menjadi mitra kerja kami. Awal Maret kami masih sempat bepergian, bertemu rekan kerja dari beberapa provinsi lain untuk mengatur ulang strategi program (jika) pandemi covid-19 memburuk. Kami masih optimis "covid-19 tidak sebahaya tuberkulosis" waktu itu. Tapi sepulang dari pertemuan itu, semua mendadak berubah. Pasien bertambah menjadi 3-4 orang, dan semua dirujuk ke Jakarta. 

Frustasi, tidak banyak hal yang bisa kami lakukan, padahal program akan ditutup akhir tahun 2020 dan kami berharap dapat menutupnya dengan manis. Program yang kukira bisa mulai "kulepas" dan mencoba beberapa hal sebagai langkah exit strategy, semua buyar. Kami kembali ke awal, mencari cara agar dapur program tetap "mengepul". Semua orang dipaksa beradaptasi, dari yang awalnya ngantor bisa sampai malam menjadi work from home. Dari yang awalnya selalu turun lapangan diganti menjadi pertemuan virtual. 

Semua orang merasa kesulitan pada awalnya, tidak hanya soal memahami teknologi baru, tetapi juga berdamai dengan berkurangnya rasa puas di dalam hati. Berpikir, "gak bisa nih begini terus" yang membuat diri termotivasi untuk melahirkan inovasi, juga "udahlah, aku nyerah, aku takut gak berhasil, aku berhenti disini aja" yang terus membayang di kepala dan membuat pergolakan diri. Mungkin di daerah lain belum begitu mengkhawatirkan seperti Jakarta saat itu. Ingin pergi saja, tapi juga takut menjadi pembawa. 

Amunisi mingguan yang rutin aku stok biar ga keluar kos

Tentu saja aku stres. Pola tidurku berubah, pola makanku apalagi, semua rutinitas dalam hidupku berubah, dan aku sadar aku sempat depresi waktu itu sampai haidku tidak lancar selama 6 bulan berturut-turut (hanya haid 2 kali sepanjang waktu itu). Tapi pertengahan tahun itu sepertinya diri sudah berdamai dengan situasi. Slogan "live must go on" menggema di kepala.

Juni-Juli 2020, mendaftar di 2 PTN terbaik di Indonesia untuk studi lanjut, dan kembali harus berdamai dengan deadline waktu yang terus berubah karena kebijakan terkait pandemi yang juga sering berubah di waktu itu. Aku pun sudah mulai mengingatkan Andi, rekan kerjaku di kantor, bahwa waktuku disini tidak lama lagi. Maksudnya aku harus pergi (re: resign) ketika nanti mulai kuliah.

Agustus 2020, alhamdulillah diterima di 2 PTN itu, tapi aku harus memilih salah satu. Entah mengapa, antara keinginan dan dukungan keluarga juga memihak sisi yang sama. Belum jadi ngajuin resign, karena ternyata kuliahnya daring. Kerjaan rasanya stuck di tempat, orang-orang sudah mulai lelah dengan rutinitas yang berulang dan tanpa progress berarti. 

September 2020, akhirnya harus mengajukan resign, karena pertimbangan banyak hal. Terlebih janji pada diri sendiri untuk tidak memforsir hal-hal di luar kemampuan, juga tanggungjawab untuk menunjukkan performa maksimal yang sama baiknya. Mulai kuliah daring, sambil bekerja. Ternyata walau daring, kuliahnya full dari pagi sampai sore. Maklum mahasiswa baru, pasti dikasih banyak agenda untuk adaptasi. Kerjaan ga kepegang sama sekali, baru ke kantor jam 4 sore itupun cuma bentar. Malamnya ngerjain tugas, sambil cek kerjaan. Oke, ternyata gabisa perform maksimal di dua hal itu--kerjaan dan kuliah. Tepatlah kalau aku memilih melepas salah satunya. 

Bukan maksud membandingkan, lebih banyak orang yang memilih multitasking, mengerjakan beberapa hal sekaligus. Tapi tentu saja ada hal-hal yang harus dikorbankan, misalnya waktu untuk diri sendiri rehat--bukan karena terpaksa rehat. Sebulan disediakan untuk menyiapkan sisa pekerjaan, tapi tetap ga kepegang itu kerjaan. Tetap harus pergi, dengan konsekuensi masih harus menyelesaikan pekerjaan sampai beberapa bulan ke depan. Awal Oktober akhirnya pindah dari Jakarta, transit dulu di kampung halaman sampai beberapa bulan.

Sejak kuliah malah hidup berasa lebih teratur, contohnya sering bangun pagi dan sarapan.

Oktober-November 2020, kok makin padat ya kuliah. Sering ketiduran saat kuliah (sungguh privillege kuliah daring dengan menutup kamera dan audio) lalu menyalahkan diri sendiri karena melewatkan kesempatan belajar. Niat hati pulang kampung untuk bisa dekat sama keluarga, bantu ibu di dapur. Ternyata gak semulus itu. Mana sempat aku ke dapur, sempat ke kamar mandi aja udah sangat bersyukur. Membayangkan kalau di Jakarta, mungkin aku udah kurus kering ditambah dompet kering karena jarang (karena ga sempat) makan. Beruntung di rumah ada keluarga yang siap sedia mengingatkan (juga menyediakan) makan. 

Kuliah online gak mengurangi esensi kesibukan dari pagi sampe malam

Desember 2020, sesuai janjiku, aku ke Jakarta. Menyelesaikan urusan pekerjaan--sambil berharap ini adalah akhir dari semua tanggungjawabku disana. Begitu sampai di Jakarta, kaget, situasinya seperti normal, tapi sangat mengkhawatirkan. Pemprov memaksa semua tempat publik tutup pukul 19.00 WIB. Cuma sehari aja di Jakarta, dan hanya menemui beberapa orang--protokol tetap jalan. Pulang dari Jakarta, seperti biasa karantina 2 minggu lagi. Karantina ini udah kayak rutinitasku, tiap pergi keluar kota, pasti dilanjut ngedekem di rumah selama 2 minggu--ga bertemu siapapun selain orang serumah.

Kunjungan terakhir ke kantor 


Pas selesai karantina, pas hari keberangkatan ke Yogyakarta. Sudah saatnya menunaikan tugas, untuk "learning-by-doing" di lapangan. Salah siapa ngambil studi untuk jadi ahli wabah. No excuse buat kabur dari residensi 68 minggu di lapangan. Mau berharap ga perlu pakai hazmat, tapi kok naif sekali. "Keberadaan kalian dibutuhkan", kata dosen yang akhirnya nemuin kami kemarin. Oke, mungkin ini sudah saatnya mengambil peran, berharap agar selamat dan lancar semuanya.

Dengan status baruku sebagai mahasiswa pascasarjana ini, sering banget ada pertanyaan. "Ngapain sih kuliah lagi?" atau "Jurusannya apa kak? Kenapa ambil jurusan itu?" tenang aja, aku bakal jawab pertanyaan itu satu persatu. Sambil kutunaikan janjiku buat selesaikan tulisan tentang LPDP (aniwei kabarnya LPDP akan buka pendaftaran lagi sih tahun 2021) supaya bisa jadi referensi kalian yang mau mendaftar beasiswa LPDP.

Oke deh, pendek aja kayaknya tulisan kali ini. Tulisan kaleidoskop ini sebenarnya semacam diary tahunanku yang akan menjadi pengingatku tentang hal-hal apa yang sudah kucapai dan apa yang belum. Untuk tahun 2021 aku berharap bisa lebih luwes lagi dalam beradaptasi, dari praktisi lapangan menjadi akademisi. Lancar juga program residensiku di Dinas Kesehatan dan lancar kuliahku. See you di kaleidoskop tahun 2022, semoga kita semua diberikan umur yang panjang dan juga kesehatan sehingga bisa bertemu lagi. 

Sebuah transisi status





0 komentar:

Posting Komentar