Senin, 01 Januari 2018

Kaleidoskop Tahun 2017 dan Resolusi Tahun 2018

Halo, ketemu lagi di postingan wajib di akhir tahun ini. Aku lupa deh sejak kapan aku mulai nulis postingan semacam ini, tapi yang jelas sekarang menulis postingan ini adalah semacam laporan pertanggungjawaban buatku. Aku, siapa tau suatu saat nanti amnesia, berpikir diriku adalah putri seorang raja dari kerajaan besar, kan setelah baca ini aku jadi down-to-earth.*abaikan*

Oke, setelah membaca ulang resolusi tahun 2016 ini, aku rasa semua targetku telah terlampaui. Meskipun, aku merasa tahun ini adalah "titik balik" kehidupanku dimana aku benar-benar harus keluar dari zona nyaman dan mencari cara untuk bertahan dan merasa nyaman.

Bukan hal mudah, kuawali tahun 2017 dengan banyak sekali masalah, yang benar-benar tak kuduga. Januari 2017, aku berhasil melaksanakan ujian proposal skripsi dan keluar sebagai mahasiswa S1 pertama di jurusanku di angkatan yang melaksanakan ujian proposal. Teman-temanku yang lain baru ngajuin bab 1, aku udah ujian bab 3. Bangga? Enggak juga. Aku jadi orang yang serba bingung karena gak ada teman yang bisa kutanyai, alhasil aku harus SKSD sama kakak tingkat untuk bertanya sama mereka.

Terimakasih kepada Mbak Ita, Mbak Ida, Mbak Dika, dan Mbak-Mbakku yang lainnya yang malah sering mengingatkan tentang "how-to-do-next" padaku. Singkat cerita, bulan Februari aku mulai penelitian dan akhir Maret aku menyelesaikan bab kelima skripsiku dan mulai kerepotan mengurus administrasi pendaftaran sidang Skripsi. Kereta Express, kalau kata teman-temanku. Bukan tanpa alasan, aku memang diburu sama dosen pembimbing pertamaku yang mau cuti melahirkan. Bayangkan, cuti melahirkan itu selama 3 bulan, waktu selama itu bisa kupakai untuk menyelesaikan S1 kan. 

Segala macam huru-hara mewarnai prosesku mendaftar sidang skripsi. Melobi sana-sini demi bisa melaksanakan sidang skripsi selang 2-3 hari dari hari aku mendaftar sidang. Kata sekretaris jurusanku, "masih banyak kakak tingkat yang ngantri jadwal sidang, masa kamu yang baru daftar mau langsung sidang?" aku kicep. Entahlah, apakah dosenku yang mau cuti itu juga ikut meloby atau tidak, yang jelas aku sudah berusaha. Sampai akhirnya beberapa kali lobying, ketua jurusanku mengizinkan untuk aku melaksanakan sidang dua hari kemudian, tapi dosen pembimbing pertamaku malah sudah cuti duluan. Katanya, usia kehamilannya sudah kelewat batas yang diijinkan untuk melakukan perjalanan jauh. Soalnya, Beliau mau melahirkan di tempat tinggalnya di Solo. Ya, aku maklum sih, apalagi dosenku itu punya banyak riwayat keguguran, jadi lebih berhati-hati untuk kehamilannya yang pertama berhasil ini.

Akhirnya, teman-teman kosku menasihatiku untuk pulang kampung saja, menunggu jadwal sidang skripsi yang baru akan keluar di akhir bulan April. Akupun pulang ke rumah, lalu diajak sahabat-sahabatku main ke Brebes buat ngilangin stress. Tapi, ternyata aku mengalami stress yang cukup serius. Mengingat ternyata ada jadwal wisuda bulan Juli, dan harusnya aku bisa ikut wisuda di bulan Juli itu. Aku terpaksa menelan ludah karena tahu pasti bahwa aku tidak akan bisa wisuda di bulan Juli, karena dosenku saja baru kembali dari cuti melahirkan di bulan itu. Alhasil, hampir setiap kali tidur, entah itu tidur malam, siang, sore, aku selalu memimpikan sidang skripsi. Dan itu berlangsung selama 2 minggu selama aku di rumah.
Healing ke Hutan Mangrove Pandansari Brebes

Bukan tanpa alasan aku menekan diriku sedemikian ketat seperti ini. Pasalnya, aku mengalami patah hati terberat selama 21 tahun hidupku, dan merasa sudah tidak betah berada di Kota Semarang dimana orang yang membuatku patah hati itu juga berada disana. Masa-masa sejak pertengahan tahun 2016 juga sudah mulai menunjukkan yang mana teman yang mana lawan, aku merasa pertemananku makin sempit. Yaiya aku maklum, aku memasuki semester dimana asas kepentingan menjadi urusan masing-masing. Teman-temanku sibuk dengan urusannya sendiri, aku sampai memilih desa tempat lahirku sebagai lokasi penelitianku. Tujuannya satu, agar penelitianku nanti dibantu sama Bapak.


Dan ya, bapakku ini adalah orang yang paling berjasa di tahun 2017 ini, karena Beliau selalu jadi tempat curhatku mengenai skripsi, dan tempat diskusiku dalam banyak hal. Apalagi skripsiku memang melibatkan teknik kelistrikan yang aku sama sekali gak mudeng, bapakku inilah yang membantuku membuat desain instrumen penelitianku. sekaligus merakitnya.

Penelitian di kandang ayam. Itu instrumen dirangkai sama Bapak, setelah kudesain ulang berkali-kali.

Oh ya, bicara mengenai tekanan yang membuatku ingin segera lulus juga termasuk pada kenyataan bahwa adikku akan mendaftar ke perguruan tinggi di tahun ini. Aku jadi orang yang juga ikutan mikir gimana caranya bisa bantu adekku bisa kuliah. Aku selalu was was kalau-kalau adekku gak bisa dapat beasiswa seperti diriku, atau parahnya lagi tidak dapat masuk perguruan tinggi negeri, mengingat nilainya yang pas-pasan dan dia maunya masuk jurusan teknik yang sudah pasti susah. Duh.

Jadi setelah hibernasi di rumah, aku kembali ke kampus dan tak lama jadwal sidangku keluar, dijadwalkan tanggal 9 Mei 2017. Aku mulai menata hati, kubilang pada diri sendiri "all is well". Sosen pembimbing pertamaku jelas gabisa ikut sidangku, artinya Beliau akan melaksanakan sidang susulan. Bulan Mei berarti tepat sebulan Beliau cuti, jadi masih ada dua bulan penantian. Aku sudah menduga kalau nasibku akan digantung selama penantian itu.

Baru saja berdamai dengan hati, aku dapat musibah. Aku kecelakaan bersama temanku di dekat kampus saat akan berangkat kondangan di keluarga asuh saat KKN dulu. Aku mengajak temanku, Novi untuk ikut, aku yang kebetulan nyetir motornya. Saat akan berbelok arah, aku gak tau ada motor yang melaju kencang (memang itu dekat persimpangan jalan yang padat) kemudian menabrak motor Novi dari arah samping. Alhamdulillah, kami semua selamat. Tapi, Novi amnesia. Dia shock berat, karena dia yang melihat motor itu melaju ke arah kami, dan sebelum terjadi kecelakaan itu, Novi sempat berteriak padaku (aku tidak melihatnya karena fokus melihat arah berlawanan).

Bayangkan, Novi satu-satunya saksi dari pihak kami yang ditabrak, dan dia amnesia. Aku yang gak tau apa-apa dituduh sama si penabrak yang ternyata anak SMP yang belum punya SIM (well, aku juga belum punya SIM sih) anak warga lokal sekitar situ, dan gak ada saksi mata selain kami. Kebetulan jalanan saat itu lengang. Sedang ribet menyelesaikan negosiasi karena si penabrak malah minta ganti rugi (padahal yang rusak parah adalah motor kami) eh si Novi yang linglung malah terus menerus nanyain ke aku tentang apa yang terjadi. Untungnya datang teman-temanku yang rencana mau berangkat rombongan ke desa tempat KKN kami untuk kondangan. Kebetulan ada dua orang teman jurusan hukum yang membantu menjelaskan padaku situasi hukum yang mungkin terjadi dengan kondisi kami.

Alhasil setelah negosiasi cukup alot, kata damai pun datang dari kedua belah pihak setelah orangtua si anak datang dan menangis memohon padaku. Kuanggap ini musibah, karena akhirnya aku yang harus ganti rugi lumayan banyak. Aku sampai tidak menghiraukan lukaku sendiri, yang ternyata terus mengeluarkan darah tanpa kusadari, untungnya gak sampai dijahit.

Siapa sangka, kejadian itu jadi membuatku berpikir dewasa. Untuk pertama kalinya aku menangis di depan orang lain. Aku mengkhawatirkan banyak hal, termasuk berita kecelakaanku dan Novi yang telah menyebar di seantero kampung (aku dan Novi satu desa) dan banyak orang di rumah yang terus menerus menanyai kami. Aku hanya takut hubunganku dengn keluarga Novi akan jadi rusak gara-gara masalah ini, walaupun aku terus meyakinkan diriku kalau aku gak salah.

Aku yang malah bertambah beban pikiran, memutuskan bekerja freelance di sebuah Optik dekat kos untuk meringankan beban orangtua. Aku menangis sewaktu Bapak bilang, "Bapak yang ganti semuanya. Ini buat pelajaran, sekarang kamu paham kalau pengalaman itu mahal harganya. Gak papa, asal kamu bisa belajar dari masalah ini." Akhirnya aku memutuskan untuk tidak merepotkan orangtua lagi, juga mengingat aku butuh banyak biaya untuk menyelesaikan administrasi kuliahku. Sebenarnya aku sudah terbiasa bekerja sejak kelas 2 SMA, hanya saja kerjaanku kan cukup di depan laptop. Sekarang aku harus terbiasa bekerja 8-12 jam sehari.

Oke, sebutlah ini titik balikku yang pertama.

Aku bekerja 6 hari dalam seminggu, dan 1 hari libur itu aku gunakan untuk ke kampus. Alhamdulillah aku bertemu dengan bos yang baik hati, Beliau selalu mengijinkanku kapan saja ijin untuk ke kampus, dengan syarat aku mengganti shift. Aku bekerja sambil mempersiapkan sidang skripsiku. Aku sudah melupakan masalah kecelakaan, dan kembali fokus pada kuliah dan pekerjaanku. Dan benar saja, saat sidang skripsi, aku benar-benar dibantai karena yang paling paham mengenai skripsiku selain diriku adalah dosen pembimbing pertamaku yang lagi cuti itu. Sidangku berlangsung cepat, tapi ternyata ada hal mendasar yang telak membuatku sukses dikuliti penguji, akhirnya revisiku dimulai dari BAB 3.
Suasana ruang sidang, 30 menit sebelum mulai.

Dosenku yang cuti itu juga sempat mengirimkan ucapan semangat dan doa untukku, juga permohonan maaf karena Beliau tidak bisa menemaniku sidang. Terharu kan.... lupa deh rasa sedih karena hasil sidangku ditunda sampai aku menyelesaikan sidang susulan yang masih 2 bulan lagi. Saat keluar ruangan sidang, aku disambut hangat oleh teman-temanku yang begitu ramai berdatangan untuk mengucapkan selamat, bunga, kado, dan macam-macam hadiah. Aku jadi malu sendiri, padahal aku masih harus sidang lagi nanti, dan belum resmi aku lulus. Baru saat itulah aku sadar, bahwa tanpa kusadari merekalah yang senantiasa mendukung dan mendoakanku juga. Bener deh ternyata ungkapan, "you will never walk alone" itu.
Ramai sangaaat

Masa 2 bulan penantian yang menurutku lama, ternyata terlewati dengan mudah. Beberapa hari setelah sidang, aku mulai menyiapkan diri untuk memfasilitasi adikku yang akan melaksanakan tes SBMPTN di kampusku. Kemudian aku juga mendapat tawaran untuk ikut dalam project penelitian dosen di Kota Pekalongan selama seminggu. Jadi deh Bulan Mei terlewati dengan cepat dan baru bulan Juni aku mulai mengerjakan revisi Skripsiku.

Aku tidak menyangka urusan administrasi untuk menyelesaikan kuliah akan seribet itu. Apalagi aku yang cuma punya waktu satu hari untuk full berada di kampus, yang kugunakan untuk bimbingan, dan setengah hari untuk nyicil menyelesaikan adiministrasi kelulusan. Padahal belum pasti Skripsiku diterima, tapi aku optimis saja. Aku sering kelelahan karena harus bolak balik ke kampus dilanjut bekerja di malam harinya. Bulan Juni-Juli aku lebih sering ngambil shift malam yang sering membuatku pulang ke kos dalam keadaan separuh zombie.

Akhirnya, Bulan Juli datang juga membawa kembali dosbing pertamaku. Sambil mempersiapkan materi untuk sidang susulan, aku juga menyelesaikan project penelitian yang kulaksanakan di Pekalongan untuk olah data. Sidang susulan lancar terlaksana, dan rasanya semua urusanku dipermudah. Sekitar seminggu kemudian semua urusan administrasi kelulusanku selesai dan aku dinyatakan lulus pada tanggal 21 Juli 2017 dengan predikat cumlaude. Alhamdulillah... 

Kebahagiaan lain datang, setelah aku akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan aplikasi konferensi di Paris, aku mendapat kesempatan untuk menjadi satu dari 2000 orang yang terpilih dari sekitar 12.000 aplikan untuk ikut serta dalam Ekspedisi Nusantara Jaya (ENJ) kelompok Pemuda. Aku memilih Bangka Belitung sebagai lokasi pelayaranku. Sebenarnya tahun 2016 aku sudah mau mengikuti ENJ ini, hanya saja aku ingat bahwa aku masih maraton magang-KKN-PKL-proposal skripsi, akhirnya kuurungkan. Sambil memikirkan cara mendapatkan uang untuk berangkat ENJ, aku kembali mendapat tawaran untuk melaksanakan project pengabdian dosen. 
Pengabdian terakhir sebagai Mahasiswa UNNES

Tabarakallah, Juli-Agustus terlewati dengan mudah. Aku hanya fokus bekerja dan menyebar proposal sponsor. Alhamdulillah, fakultas mensponsori tiket pesawatku PP Jakarta-Bangka untuk ENJ sehingga aku hanya perlu mempersiapkan sedikit uang untuk transportasi ke Jakarta. Pasalnya, kami mendapat uang saku selama kegiatan ENJ sehingga aku pikir aman.
11 orang peseta ENJ usai pamitan dengan Bapak Rektor dan Wakil Rektor bid. Kemahasiswaan

Bukan hal yang mudah untuk mempertahankan komitmen untuk tetap berangkat ENJ. Waktu dua bulan persiapan hampir saja menyurutkan semangatku, teman-teman satu tim bahkan banyak yang mengundurkan diri. Aku yang telah terbiasa bekerja, semakin ingin segera wisuda, pergi dari Semarang dan mencari pekerjaan tetap. Cobaan lain kemudian datang saat wisuda diundur 3 minggu. Jadwal wisudaku bertabrakan dengan jadwal pelaksanaan ENJ, dan aku terpaksa pindah tim, kepada tim yang hanya segelintir orang yang kukenal. Aku murung 2-3 hari gara-gara hal ini, pasalnya selama kami berdiskusi di grup besar, tim 3 ini yang paling gak jelas, beda dengan tim 2 yaitu timku sebelumnya yang sudah terkoordinir dengan rapi. Apalagi, aku diamanahi sebagai sekretaris di tim sebelumnya, jadi kepergianku juga disesalkan oleh banyak orang di tim.

Akhirnya, wisuda terlaksana, dengan sederhana. Keluarga dan sahabat-sahabat, teman-teman, dan banyak orang yang kulihat raut bahagianya menyambutku. Selang 3 hari setelah wisuda, aku berangkat ke Jakarta untuk terbang dari Bandara Soekarno Hatta di Tangerang ke Bandara Depati Amir Pangkalpinang, Bangka. Bukan main, bulan September itu aku sering sakit, hampir 2 kali periode sakit. Mungkin karena aku banyak pikiran, sibuk mempersiapkan barang yang akan dibawa pulang ke rumah dan yang akan dibawa selama ENJ, ditambah aku kelelahan karena di hari wisuda aku langsung mobile 2 kota sekaligus (Boyolali-Solo) untuk bertemu keluarga dan mengantar adek kembali ke kampus.
Wisuda sama ortu? Emang apa yang salah? Memang mereka yang punya cinta terbesar untukku kok :p

Alhamdulillah, aku bisa menginjakkan kaki di Bangka Belitung, bertemu dengan orang-orang yang baru kukenal sebulan sebelumnya, mencoba beradaptasi di lingkungan baru, sambil memikirkan bagaimana aku bisa mengeksplor sebanyak-banyaknya tempat dan pengalaman di bumi Laskar Pelangi itu. Kalau kamu mau tau perjalananku selama di Bangka Belitung, kamu bisa baca disini atau disitu. Singkatnya, sejak mengikuti ENJ ini aku merasa inilah titik balik hidupku yang kedua di tahun ini. Aku, yang sangat jarang pergi dari habitatku, yaitu kos-kampus-kampung, tiba-tiba pergi jauuuh sekali dan tidak merasa takut.
Murung karena harus balik ke Jawa

Sepulang ENJ, aku kembali ke kampung setelah menyelesaikan laporan pertanggungjawaban di kampus (karena perjalananku dibiayai kampus). Barulah aku mencari pekerjaan lagi. Sebelumnya, sejak aku mendapatkan SKL (Surat Keterangan Lulus), yaitu seminggu setelah dinyatakan lulus, aku sudah banyak mengirim lamaran kerja walaupun aku masih bekerja freelance di Optik. Beberapa panggilan sempat kuikuti, tapi lebih banyak yang tidak kulanjutkan. Aku sampai dimarahi Bapak karena dinilai main-main saja.

Kata Asih, aku gak bisa nganggur. Benar saja, baru semingu di rumah, aku dapat tawaran dari Puskesmas terdekat kalau mereka butuh tenaga bantu untuk sensus Keluarga Sehat, yaitu program yang diusung oleh Kementerian Kesehatan. Kupikir, sambil nunggu dapat kerjaan yang pas, aku nyambi bantu-bantu saja di Puskesmas, alhamdulillah ada insentif juga, jadi aku tetap produktif. Sampai sekarang aku masih bekerja freelance di sana, walaupun aku sering sekali ijin minimal seminggu.
Sekilas tentang pekerjaanku: nensi!

Baru 3 minggu pulang dari Bangka Belitung, aku dapat tawaran untuk berangkat ENJ lagi. Kali ini di Pulau Tidung, Kepulauan Seribu, Jakarta. Ini adalah ENJ khusus untuk alumni, perwakilan 34 provinsi keberangkatan tahun 2015, 2016, dan 2017 sebanyak 100 orang. Waktunya sama, yaitu 10 hari, tapi ditambah perjalanan, aku perlu waktu 12 hari. Di ENJ kali ini, aku benar-benar ngerasa mengabdi. Bayangkan saja, setiap hari kami harus menempuh perjalanan minimal 30 menit dari tempat tinggal kami di Pulau Tidung Kecil ke Pulau Tidung Besar yang menjadi lokasi pengabdian kami. Pulau Tidung Kecil itu adalah kawasan konservasi, dan hanya ada satu bangunan disana, yaitu kantor konservasi yang dikelola pemerintah desanya. Untung saja sudah ada jembatan panjang yang menghubungkan dua pulau itu, jadi kami cukup berjalanan kaki, di atas  laut, dengan terik matahari langsung menyengat kami.
Jembatan cinta adalah jembatan yang menjadi penyambung hidup kami selama berada di Pulau Tidng ini
In Frame: Tim Kesehatan ENJ Alumni

Yang lebih membuatku terharu adalah, karena sebagian besar dari kami adalah orang-orang yang benar-benar nekat berangkat tanpa sponsor dari siapapun. Full dana pribadi, padahal kami tahu tidak ada jaminan kami dapat uang saku seperti ENJ sebelumnya. Karena semua dana digunakan untuk program dan memfasilitasi kami yang berjumlah 100 orang ini. Tujuan kami juga murni bukan jalan-jalan, tapi untuk mengabdi dan membawa organisasi alumni ENJ (selanjutnya disebut Rintara Jaya) terbentuk dan bisa berkembang untuk membawa manfaat, apalagi tidak ada jaminan ENJ akan kembali diadakan tahun depan.
ENJ Alumni: Mereka adalah orang-orang yang mau menahan lapar dan haus sama-sama, tapi saling sikut kalau urusan foto. 

Aku sampai sebal dan berkali-kali mengeluh tiap ada teman-teman yang nyeletuk kepadaku, dengan mengatakan "enak sih jalan-jalan terus" atau "banyak duit ya sampai liburan mulu". Padahaaal, gak seperti yang mereka kira. Aku selalu mempunyai misi dari setiap perjalananku yang jauh, kalau dulu jaman kuliah untuk mengikuti lomba, dibiayai juga sama kampus. Nah sekarang misinya untuk mengabdi, biaya dari kantong pribadi. Gila kali, aku merelakan 2 minggu pekerjaanku ditinggal yang berarti mengurangi separuh gaji yang bisa kuterima, untuk pergi mengabdi dengan uang pribadi, padahal aku belum gajian dan baru bekerja 10 hari. Gak terima lah kalau dibilang aku buang-buang uang, karena orientasi utamaku bukan liburan. Aku jelas gak punya alasan kuat buat menolak tawaran untuk mengabdi, mengingat lebih dari separuh orang yang berangkat berasal dari luar pulau. Nah ke Jakarta saja, yang ongkosnya dari rumahku gak lebih dari 100k, masa kutolak sih.
Kami adalah orang-orang yang rela berburu tiket murah meski harus dilempar dari satu kereta ke kereta lainnya.
In frame: temen jalan dari DIY dan Jawa Tengah.

3 minggu sepulang dari ENJ kedua, aku kembali melakukan travelling jarak jauh. Kali ini aku ke Yogyakarta, kota yang sejak lama ingin kukunjungi, dan SENDIRIAN. Sekali lagi, ini bukan misi jalan-jalan, awalnya. Melainkan aku memang ada undangan interview kerja disana. Didukung sama orangtua, akhirnya aku nekat berangkat. Apalagi sekarang aku punya kenalan di 34 provinsi di Indonesia berkat ENJ alumni di Pulau Tidung, aku jadi merasa aman karena banyak orang yang bisa kuhubungi untuk menampungku.
Gak sendirian ya, tuh ada yang ngefotoin

Biar kukasih tahu ya, aku sebenarnya sangat takut sendirian. Aku selalu panas-dingin karena nervous, bahkan selalu sakit perut tiap mau diantar ke Stasiun, dan itu terjadi sejak aku pertama kali merantau ke Semarang di tahun 2013. Jadi, bisa dibilang ini adalah pencapaianku yang terbesar di tahun ini. Walaupun setelahnya, aku memutuskan tidak mau lagi melakukan solo-travelling, kalau gak benar-benar kepepet. Padahal selama solo-travelling itu aku banyak bertemu orang baru yang baik hati menemaniku. Mereka adalah driver gojek yang mau jadi tour guidemenjelaskan tempat-tempat di Jogja, calon penumpang kereta yang menasihatiku untuk segera menikah, dan teman perjalanan di kereta Jogja-Solo yang berasal dari Bengkulu. Kuakui, solo-travelling adalah healer terbaik saat ada masalah. Alhamdulillah, aku sedang tidak ada masalah, jadi solo-travelling itu dirasa aneh banget buatku, karena kesannya aku seperti sedang menghindari semua orang dan lari dari masalah -_-

Jadi, bisa ditebak ya sejauh mana aku keluar dari zona nyamanku. But, things are going to be the best part of my life. Aku jelas gak nyangka kalau aku bakal bisa survive di luar kebiasaanku, dan bisa terlihat seberani itu. Meskipun sekarang aku merasa seperti hidup tanpa tujuan, karena aku belum memutuskan ingin bekerja dimana, bekerja seperti apa, atau apa yang akan kulakukan nanti, aku merasa Tuhan sedang memberiku reward dari segala keteguhanku untuk fokus selama belajar, mengabaikan foto-foto liburan teman-temanku yang seringkali membuatku iri karena tidak bisa sebebas mereka. For now, aku nyaman dengan kerjaan freelance yang memfasilitasiku untuk bisa jalan-jalan.

Ayolah man, 17 tahun dari TK sampai S1 aku belajaaaar terus, and finally i've got my dreams. Aku merasa, sedikit lagi, aku sudah tidak mempunyai keinginan pribadi. Dan ya, resolusiku tahun depan sederhana. Sementara ini aku masih berpikiran mengenai 3 siklus ini, yaitu bekerja-S2-menikah. Mimpi-mimpiku yang lain, kukira akan mengikuti mimpi-mimpi besarku itu. Aku berpikir, semuanya akan berjalan baik, walaupun aku juga sudah bersiap untuk ditempa menjadi orang dewasa, tapi aku tetap meneguhkan hati bahwa aku bisa melewatinya.

And finally, pelajaran terbesar selama setahun ini adalah, "Waktu tidak pernah mengkhianatimu. Jika hal-hal berlalu dengan penuh kesulitan bagimu, maka percayalah bahwa waktu akan menolongmu. Tugasmu hanya menunggu dan berdoa, sambil terus melakukan hal-hal baik, maka waktu juga akan memberi jawaban atas penantianmu. Bahwa tidak ada yang sia-sia, dan jawaban Tuhan itu pasti yang terbaik."


Well, semoga waktu di tahun ini bersahabat denganmu, atau paling tidak kau sudah berusaha untuk bersahabat dengannya. See you yaa! Happy New Year ^_^




 
Wanna fly with me this year?

0 komentar:

Posting Komentar