Kamis, 12 Desember 2013

Bercumbu Dengan Angin Lalu




Keadaan ini mengepungku. Memenjarakanku dalam jeruji waktu yang entah kapan berhenti memusuhiku. Aku ingin berontak, tapi tali api menyanderaku. Membuatku tak bisa berbuat apa-apa.
Dalam remang cahaya bulan, kembali kuhitung satu-satu bintang di gelap langit malam. Kembali, ketika hitunganku sudah mulai banyak dan konsentrasiku terpasung kuat, aku harus memulai lagi menghitung dari awal. Seolah mereka tak mau aku berhasil menebak berapa jumlah kawanan mereka.

Ini terus kulakukan untuk membunuh waktu. Gegap gempita malam yang sepi ini hanya ditemani suara jangkerik dan sesekali desahan nafasmu menyulut sebatang rokok yang tak pernah habisnya ada di kantong celanamu.
Asap dari rokokmu membumbung di awan yang gelap menyaingi sinar rembulan yang menerobos celah-celah dedaunan di seputaran taman ini.
Tahukah kau aku sudah tak tahan dengan keadaan ini? berkali-kali kucoba menyelami hatimu dengan menatap lekat-lekat wajahmu. Berusaha menemukan jawaban atas segala kebisuan ini.
Kumohon! bicaralah. Lebih baik kau memakiku daripada harus menyiksaku dengan diammu ini. Tidak tahukah kau bahwa nyamuk-nyamuk pengisap darah sudah memanen darahku sedari tadi?
***
Kembali kurasakan waktu berjalan perlahan saat aku ingin semuanya cepat berlalu. Andai aku punya samurai penebas waktu, aku ingin memangkasnya habis-habisan agar lebih ringkas. Dan semua cepat berlalu. Agar aku cepat terbebs dari kungkungan masa ini.
Ini untuk yang ke-dua kalinya kau menyiksaku dengan diammu. Mungkin memang aku yang salah mengkhianatimu dengan berpindah haluan. Tapi ketahuilah, aku lakukan ini karena aku sudah tak tahan denganmu!
Tak sadarkah kau aku selalu tersiksa menahan rindu yang tak terbalaskan? kau biarkan aku bercumbu dengan angin lalu yang kosong. Tanpa makna. Sedangkan kau asyik dengan duniamu sendiri. Jarang sekali kau membuatku mengerti arti hubungan ini yang sesungguhnya. Membuatku terkadang bertanya pada malam, apa maksud semua ini.
“Kamu maunya apa?” ujarmu sambil terus menyulut rokok
“Setelah kamu menyiksaku dengan diammu, kamu baru bertanya apa mauku?” aku melotot tak percaya
“Aku tak menyiksamu….”
“Kau menyiksaku! tak sadarkah kamu aku juga manusia yang ingin dianggap?”
“Apa selama ini aku tidka menganggapmu?”
“Kamu tak menganggapku ada! kau asyik dengan duniamu sendiri dan tak memperdulikanku!”
“Sudahlah, aku jenuh dengan semua ini.”
“Sama! aku juga! jauh lebih jenuh daripadamu! jangan salahkan aku jika aku mencari yang lain!” ujarku sambil berlalu meninggalkannya yang memandangku santai.
Ah, aku tak percaya, bahkan ia tak berusaha menahanku pergi. Sudahlah, sekarang sepatutnya aku bersyukur bahwa ini sudah berlalu. Kejenuhan ini akan segera berakhir dengan hadirnya kuncup baru. Waktu takkan lagi memusuhiku.


0 komentar:

Posting Komentar