Sabtu, 09 November 2013

Di mana kamu teman?

Huff malam minggu lagi. Sudah berapa malam minggu yang kulewati di sini di kota Semarang ini ya? Hari minggu berarti hari yang dekat dengan hari Senin, dan hari Senin rasanya kaki ini lemas melangkah ke lantai 3 kampusku. Dulu sih sewaktu masih bulan pertama masuk kuliah aku semangat berangkat kuiah, menunggu dosen datang dan menunggu teman-teman baruku datang. Juga seorang teman yang sudah kukenal sejak sebulan sebelum kuliah perdana.

Aku mengenalnya lewat dunia maya, tentu saja karena keterbatasan waktu dan tempat tak memungkinkan aku bertemu dengan teman-teman baru yang satu jurusan, apalagi dia beda jalur masuk denganku. Dia yang pertama membuka percakapan kami di chatbox di jejaring sosial facebook, bermaksud menanyakan perlengkapan adminitrasi serta perlengkapan ospek. Aku dengan senang hati membantunya terlebih setelah aku tahu dia satu jurusan denganku.

Dia seorang cowok, iya cowok. Di jurusanku sangat langka makhluk berjenis kelamin cowok. Jumlahnya bisa dihitung jari. Dia sempat khawatir kalau dia salah masuk jurusan karena masalah perbandingan jenis kelamin itu. Aku meyakinkannya untuk tetap percaya diri dan yakin bahwa dia (juga kami) adalah orang-orang pilihan.

Aku senang mempunyai teman baru, bertemu dan berkenalan dengan orang baru. Terlebih ketika kami saling kenal lewat dunia maya lalu kami dipertemukan dalam kehidupan nyata, rasanya senang sekali. Sewaktu ospek jurusan aku sering melihatnya datang terlambat dan dihukum oleh senior kami. Dia sering sekali mendapat hukuman bahkan sampai aku sebal padanya dan menilainya sebagai orang yang tidak disiplin atau manja. Bayangkan saja, untuk mandi pun dia nekat pulang ke kos hanya karena malas mengantri atau karena toilet yang kotor, padahal kami diharuskan tetap di kampus karena rangkaian acara belum selesai dan mengharuskan kami menginap di kampus. Entah aku tak tahu maksudnya, yang jelas aku sangat tidak suka pada orang yang tidak disiplin. Apalagi dia sebagai kaum minoritas di jurusanku. Harusnya dia bisa menunjukkan eksistensinya sebagai "orang pilihan" itu.

Tapi keramahannya membuatku sedikit bertoleransi padanya. Di kelas juga sepertinya banyak orang yang menyukainya karena pribadinya yang supel. Dia selalu menyapaku dan tersenyum ketika kami berpapasan, meskipun dalam jarak berjauhan dan kondisi mata yang minus yang membuat pandangan kami kabur. Yang selalu kuingat untuk membedakannya dari yang lain adalah postur tubuhnya yang semampai juga rambutnya yang selalu berantakan.

Tapi semakin lama dia semakin menunjukkan ketidakdisiplinannya. Dia kembali mengulangi perbuatannya yang suka datang terlambat di kelas. Ah menyebalkan sekali.

Di bulan kedua kuliah, hari Jumat, aku tak melihatnya masuk kuliah. Padahal malam sebelumnya kami chatting di facebook. Lalu aku tak sengaja melihat statusnya yang seperti orang berduka sangat dalam, seperti kehilangan seseorang yang sangat dekat dengannya. Aku hanya mengirimkan pesan singkat ke ponselnya untuk menyatakan bela sungkawa tanpa menanyakan siapa yang meninggal karena aku tidak enak hati untuk menanyakannya. Seminggu berlalu tapi dia tak juga masuk kuliah. Setelah seminggu dia absen kuliah aku baru mendengar kabar bahwa yang meninggal adalah ayahnya. Entah kenapa aku juga merasa sedih mendengarnya.

Satu minggu berlalu, dia belum masuk kuliah. Minggu ketiga, hari Senin dia mengirim pesan ke ponselku tapi aku tak menyadarinya karena ponsel kumatikan. Isinya menanyakan keberadaanku, dia memastikan apakah aku di kampus atau tidak. Aku merasa ada hal penting yang akan dia sampaikan padaku, aku juga sudah menyiapkan pertanyaan ketika kami bertemu. Tentu saja aku akan menyuruhnya kembali kuliah. Kubalas di sore harinya, namun dia hanya membalasnya dengan kalimat, "gak papa mbak hehe". Aku merasa di dalam kalimat "gak papa" itu ada sesuatu yang dia sembunyikan.

Minggu kedua dia masih belum masuk kuliah, bahkan temannya mengatakan bahwa dia sudah tidak masuk kuliah sejak 3 minggu yang lalu, dan ini minggu ke empatnya absen kuliah. Aneh, padahal minggu lalu dia mengatakan padaku lewat SMS bahwa dia ada kuliah yang menyebabkan dia tidak bisa masuk kuliah pengganti. Aku bertanya lewat SMS perihal ketidakhadirannya, tapi dia tak membalasnya. Kucoba bertanya padanya lewat chatbox ketika kulihat dia online. Aku bertanya: "kamu cuti kuliah ya?" lalu tak lama dia membalas "nggak kok." Lalu kubalas "Oh, soalnya kata temen-temenmu kamu udah gak masuk lagi." Pesanku hanya di "read"olehnya tanpa ada balasan lagi. Sejak saat itu aku tidak lagi menanyakannya meskipun setiap aku online aku melihat akunnya di daftar obrolan.

Minggu kelima, dia masih belum masuk kuliah. Ini semakin menguatkan pendapatku bahwa dia berhenti atau cuti kuliah. Entah apa alasannya, tapi aku yakin ini ada hubungannya dengan kematian ayahnya. Ingin rasanya mengetahui kabarnya dan keberadaannya sekarang, tapi aku sungkan karena mungkin aku hanya akan mengganggunya dengan pertanyaan itu. Aku yakin dia pasti sudah memikirkannya matang-matang, apalagi usianya di atasku.

Di manapun dan bagaimanapun keadaannya, aku berharap dia selalu berada dalam lindungan-Nya. Jelas aku merasa kehilangan seorang teman seperjuangan sepertinya. Karena sekarang bagiku teman-teman di sini adalah keluargaku, keluarga yang menggantikan posisi keluargaku di rumah. Keluarga yang kuharapkan bisa melindungiku dari hal-hal yang buruk dan mengajakku melakukan kebaikan.
This entry was posted in

0 komentar:

Posting Komentar