Senin, 20 Januari 2020

Cerita Hidup, Kadang Sesederhana Itu.

Tepat setahun deh, aku nulis lagi di blog. Sebenarnya ini akan jadi tulisan kaleidoskop seperti tahun-tahun sebelumnya, postingan pertama yang akan aku posting di blog setiap awal tahun. Tapi, aku terlalu malu kalau pakai judul "Kaleidoskop" lagi, ketahuan deh betapa berdebunya blog ku ini haha.

Buat yang tanya "apaan sih sok penting banget" karena aku menulis dan membagikannya, well... i never care about it. Aku masih percaya bahwa tulisan akan membuatku abadi, selama dunia ini belum kiamat. Dan lagi, penulis adalah mereka yang menulis. Definisi sederhana ini yang membuatku tetap bertahan, karena masih pengen disebut penulis walaupun belum ada buku solo lagi yang terbit.

Well, seperti biasa, aku akan merefleksikan dulu apa yang terjadi setahun ke belakang. Tahun lalu (refleksi tahun 2018) aku menuliskan nilai-nilai apa saja yang kudapatkan dari pengalaman menjadi Pencerah Nusantara di Kabupaten Muara Enim. Tahun ini aku bisa bilang bahwa aku mulai memahami segala pertanyaan dengan awalan kata "mengapa" yang sejak awal pengumuman kelolosanku itu, selalu kutanyakan pada diriku.

Kukira setahun penempatanku akan terasa adem ayem aja. Karena hingga 6-8 bulan pertama, kami memang tidak banyak mengalami hambatan atau intrik. Tapi 4 bulan terakhir bisa dibilang adalah waktu yang cukup berat. Entah karena kami mulai jenuh satu sama lain atau jenuh pada suasana karena padatnya agenda (4 bulan terakhir adalah waktunya exit strategy dimana kami akan memulai "pamitan"). Masing-masing dari kami mengambil waktu "me-time" di akhir pekan (Sabtu dan Minggu) untuk benar-benar sendiri tanpa saling mengganggu. 

Ada yang di dalam kamar, ada yang di ruang tengah, ada yang ke kota sendirian nginap di hotel. Lucunya kami tetap berkomunikasi, tapi melalui pesan teks di WhatsApp. Hanya untuk keperluan makan saja mungkin, kami saling berbicara. Hal ini terus berlanjut, sampai pada satu titik kami akhirnya saling berteriak frustasi, lalu menangis bersama. But who knows, justru di saat itulah aku banyak berefleksi. 

Kucoba menenangkan diri, "Tidak mungkin ada yang ingin menjatuhkan" karena situasinya benar-benar penuh prasangka. Bermalam-malam aku sulit tidur dan selalu berpikir tentang situasinya, merunut kembali dari hulu semua masalah ini muncul. Lalu sampailah pada kesimpulan bahwa "kami harus berpegangan tangan lebih erat". Ditambah lagi dengan pembimbing yang baik hati merelakan waktu istirahatnya diganggu demi mendengar curhatan masing-masing dari kami (iya, kami curhat secara terpisah) lalu Kak Mala (pembimbing kami) berkata "Tidak ada orang lain yang harus kalian percaya, selain rekan kalian sendiri".

Dan ya, hari-hari berat itu akhirnya terlewati dan sampai pada hari terakhir penugasan kami, aku merasa sangat beruntung. Kami tahu mana yang benar-benar peduli pada kami, mana yang berpura-pura. Bagian terberat dari pertemuan tentu saja adalah perpisahan. Dulu aku pernah cerita kalau aku selalu khawatir dengan waktu pengirimanku ke lokasi penempatan, tapi aku juga merasakan kekhawatiran yang sama dengan waktu kepulanganku untuk purna tugas.

Meninggalkan orang-orang yang sudah kuanggap keluarga baru, terutama. Orang-orang kayaknya sampai bosan deh sejak 2 bulan sebelum kembali ke Jakarta, tiap ketemu orang yang kubahas adalah pamitan. Tentu saja life must go on, aku merasa cukup banyak berpamitan dan menyiapkan diri untuk perjalanan selanjutnya. Aku sangat berterimakasih pada semua orang di Kabupetan Muara Enim yang menerima dan mengajariku banyak hal hingga mampu mengubah sedikit karakterku berdasarkan tes MBTI sebelum dan sesudah penempatan.

Bersama keluarga Kak Deni, Nenek Bariyah, tetangga terdekat kami

Bersama satu dari banyak orangtua kami di Muara Enim

Sampai tiba hari-hari orientasi pasca penugasan setelah kami ditarik kembali dari tempat penugasan ke Jakarta. Tidak ada yang lebih menahanku untuk menangis, selain pengakuan dosa dan ucapan terimakasih. Pada mereka; Edo, Eka, Kak Mala. Aku bahkan menahan diri sekuat tenaga akan keinginanku memeluk Edo, semata untuk mengungkapkan betapa aku sayang sama dia, sebagai adik kepada kakaknya. Aku lupa deh, aku beneran meluk dia apa enggak. Kalaupun iya, itu singkat, karena aku terlalu malu hahaha.
Malam terakhir bersama
Iya, hari terakhir itu, aku benar-benar mengakui semua dosaku, yang aku tahu sengaja atau tidak sengaja aku lakukan. Setelahnya aku mengungkapkan rasa terimakasihku dan syukurku. Betapa melepas dan berpisah dari mereka ternyata tidak seberat yang kupikirkan. Sejak perpisahan kami malam itu, aku tidak pernah merasa benar-benar sendiri. Raga kami memang tidak lagi saling bertemu hampir 24 jam kali 365 hari seperti dulu. Tapi, hati kami serasa masih bersama. Aku percaya, itu karena doa dan support dari kami, satu sama lain. Kami masih saling berdiskusi di grup, menelepon, kadang saling bertemu. Dan terutama, sejauh ini tidak kualami perubahan yang menonjol dari hubungan kami.

Well, itu ceritaku sampai kira-kira bulan April 2019. Selanjutnya, aku benar-benar melakukan hal-hal yang kupendam selama setahun itu HAHAHA. First of all, tentu pulang ke rumah. Keluargaku excited banget nyambut, sampe kedua orangtuaku jemput di Stasiun. Agendaku selama "menganggur" di rumah selanjutnya, adalah "jalan-jalan berkualitas". Kusebut begitu karena setiap tempat yang kusinggahi hampir selalu ada "misi" di baliknya. Mulai dari Semarang-Solo-Jogja, aku benar-benar puas membayar rasa rindu bertemu dengan teman-teman dan tentu saja travelling. Sampe gak sadar uang tabungan habis buat jalan-jalan ini HAHAHA. 

Tapi lebih penting dari itu, aku kembali membangkitkan mimpiku yang kusimpan sejak tahun 2017. Ini akibat mengikuti Orientasi Pasca Penugasan (OPP) PN nih yang ada sesi berbagi cerita dan inspirasi dengan alumni. Disana ada sesi dengan penerima beasiswa studi lanjut, Kerja sebagai PNS, dan Kerja di NGO atau Entrepreneur. Di sesi dengan penerima beasiswa studi lanjut, mulutku yang kadang lancang ini tetiba ngomong, kalau aku sebenarnya udah siap-siap ikut seleksi beasiswa studi lanjut sejak tahun 2017. Ketika ditanyain udah siapin apa, kubilang sudah semua, tinggal ambil tes toefl dan susun proposal studi aja WKWK.

1. Melanjutkan Mimpi : Ikut LPDP

Selang sebulan setelah OPP itu, dibukalah seleksi beasiswa LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) Indonesia untuk studi lanjut. Itu lho, beasiswa dari Pemerintah RI melalui Kementerian Keuangan RI. Mulailah aku kembali belajar Bahasa Inggris, dari modul-modul kursus online yang kukumpulkan selama setahun (sejak tahun 2016) dan sebulan setelahnya mantap mengambil tes TOEFL ITP.

Aku sengaja mengerjakan satu persatu dulu, supaya aku bisa fokus. Aku belajar Bahasa Inggris baru mengambil tes TOEFL, setelahnya menyusun proposal studi dan meminta surat rekomendasi beserta konsultasi dengan dosen semasa S1, tes kesehatan, selanjutnya daftar seleksi. Apakah lolos? Ntar dulu... lama soalnya habis submit itu. Yang mau kubilang adalah aku sempat deg-degan karena sertifikat TOEFL-nya keluar tepat di hari terakhir submit aplikasi beasiswa. Yang deadliners tau dong, kalau website gitu suka down di hari terakhir submit. Alhamdulillah, ada adikku yang bisa bantu mengurus sertifikatku.

2. Kembali Bekerja

Kayaknya ada 1 bulan sejak submit itu, dan kebetulan aku diterima bekerja di sebuah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) di Jakarta, yaitu Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama (LKNU). Disini aku bekerja untuk program Tuberkulosis, hibah program dari Kementerian Kesehatan yang bekerjasama dengan The Global Fund. Sebuah bidang yang baru buatku, karena aku jarang sekali terlibat dan pernah tertarik pada isu Tuberkulosis (dulu lebih sering mendalami entomologi dan pengendalian vektor). Dan yang mengejutkan lagi, kali ini tugasku tidak banyak berada di lapangan, dan cukup menantang karena aku harus memanajemen tim di 5 kota, di mana ada sekitar 15 orang yang bekerja bersamaku. Cukup challenging karena aku satu-satunya cewek di antara koordinator tim di wilayahku, dengan variasi umur rekan-rekan kerjaku yang rata-rata berada di atasku, dan aku harus memposisikan diri dengan baik di antara mereka.

Tim LKNU Tuberculosis Community Engagement

3. Lolos Beasiswa LPDP

Masih nyambung dengan pembahasan sebelumnya, aku memilih Jakarta sebagai tempatku merantau lagi, salah satunya ya karena seleksi LPDP ini. Jakarta kupilih juga sebagai lokasi tes LPDPku, karena menurutku mudah diakses dan tidak terlalu jauh dari rumahku. Padahal sebelumnya, aku paling menghindari Jakarta sebagai tempatku mencari rezeki. Yap, bisa ditebak ya. Alhamdulillah aku lolos seleksi administrasi. Aku tepat ijin mengikuti Seleksi Berbasis Komputer di minggu pertama atau kedua aku mulai bekerja.

Setelah itu, apakah jalannya mulus? Oh jangan salah Fergusso, aku harus menghadapi jadwal verifikasi berkas yang akan mengantarku ke seleksi substantif (seleksi tahap akhir) tepat di hari aku ada kunjungan audit eksternal. Oh ya, aku belum cerita aku kerja dimana.Kebayang dong, waktu itu posisinya satu rekanku yang kerjaannya akan diaudit, sedang cuti dan tidak bisa dihubungi. Sementara aku sebagai penanggungjawabnya, masa iya mau absen juga.

Dilema, dan disertai sedikit drama. Karena jika aku tidak datang untuk verifikasi dokumen, maka hakku untuk lanjut ke seleksi akhir (wawancara) didiskualifikasi. Untungnya aku dibolehkan pergi seleksi dan atasanku yang akan mengambil alih dan bertanggungjawab jika auditor itu nyariin aku. Well, akhirnya aku tetap nekat berangkat ke lokasi seleksi, yang ada di Tangerang (Kampus STAN) dan aku harus menempuh waktu sekitar 1 jam untuk sampai disana. Mestakung (semesta mendukung), aku datang lebih awal dan ternyata didahulukan dari jadwal yang seharusnya. Waktu itu aku dijadwalkan mulai hadir pukul 14.00 WIB (waktu yang sama dengan waktu kunjungan auditor) sementara aku datang di lokasi seleksi pukul 13.00 WIB dan langsung diikutkan seleksi pukul 13.15 WIB selesai pukul 13.20 WIB. 

ASTAGAA! Deg-degannya dari semalam, eksekusinya gak sampai 5 menit!

Verifikasi berkas ini sehari sebelum seleksi akhir. Jadi besoknya aku masih harus datang untuk seleksi Substantif. Aku beruntung di seleksi itu, karena aku merasa bisa menguasai diri dan menemukan panelis yang enak diajak diskusi (iya, bukannya merasa terintimidasi, aku justru merasa dilibatkan dalam pemikiran dan pandangan para pewawancara).



Selengkapnya, aku akan ceritakan di postingan berikutnya ya, lebih lengkap mengenai A-Z ketika aku mengikuti seleksi beasiswa LPDP. Saat ini alhamdulillah aku sudah resmi sebagai awardee LPDP yang harus segera menemukan kampus untuk studi lanjut supaya status awardee ini jadi nyata.

4. Youth Townhall Tuberculosis

Semenjak di Jakarta ini, aku mengalami banyak keberuntungan. Salah satunya terlibat dalam Youth Town Hall Tuberculosis yang diselenggarakan WHO dengan mitra Kemenkes RI dan CISDI. Tidak hanya sebagai peserta, tetapi panitia dan perumus deklarasi. Kok ya kebetulan tema-nya sama dengan bidang pekerjaanku saat ini, jadi aku merasa sangat beruntung diberikan kesempatan belajar seperti ini.

Panel diskusi penyusunan naskah deklarasi Youth to End TB
di WHO country Office of Indonesia
Tidak sampai disitu, aku juga diundang dari sekitar 25 orang muda lainnya sebagai penyusun deklarasi "Youth to End TB". Berkesempatan "norak" di kantor WHO Indonesia adalah to do list dadakanku hahaha. Event Internasional besar itu juga mengantarku menjadi notulen (awalnya ngikut narsumnya yang ngomong pake Bahasa Inggris, selanjutnya ambyar karena lebih nyaman langsung menulis dengan Bahasa Indonesia menggunakan bantuan suara translator di headphone yang kupinjam dari panitia).

5. Public Expose Pencerah Nusantara

Selang beberapa hari setelah event itu, aku kembali diajak CISDI untuk menyiapkan Public Expose Pencerah Nusantara, dimana kami akan bercerita perjalanan 7 tahun mengabdi dalam mendukung dan menguatkan layanan kesehatan primer di 16 Provinsi di Indonesia. Di kesempatan itu aku bisa bertemu dengan orang-orang yang mungkin belum sempat kupamiti secara layak di Muara Enim. Misalnya Pak Lukman Hakim Kepala Puskesmas Sukarami tempatku bertugas, Pak Sapri yang masyaAllah udah kayak Bapak asuh kami, dan teman-teman Alura (Alumni Pencerah Nusantara). 

Salah satu yang disiapkan Alura,
dari sekian banyak desain yang aku buat untuk Booth Alura
Berada di Jakarta benar-benar membuatku bisa mereguk banyak kesempatan sih. Kalau kangen sama orang-orang di Muara Enim, hampir selalu bisa teratasi karena mereka selalu memberi kabar kepadaku kalau mau ke Jawa, terutama Jakarta. 

6. Alumni Pencerah Nusantara (Alura)

Mohon maaf kalau aku masih belum bisa menyingkirkan pembahasan mengenai "Pencerah Nusantara" ini, but it was really change me a lot. Secara karakter dan mental, i guess. Efek berkepanjangan dari perjalanan setahun dalam hidup itu banyak mempengaruhiku, terutama pada kenyataan bahwa sekarang aku berada di Jakarta yang 180 derajat berbanding terbalik dengan hidup serba terbatasku setahun ke belakang.

Setelah purna tugas dari PN, otomatis kami menjadi bagian dari keluarga Alumni Pencerah Nusantara. Duh, merinding kali tiap aku menyebutkan identitas ini. Karena Alura ini isinya orang-orang keren, pejuang kesehatan yang mungkin wajah-wajahnya pernah kamu lihat di televisi, surat kabar, atau pamflet-pamflet seminar. Yang lebih membuatku rendah diri lagi adalah, ketika dipilih teman-teman Alura angkatanku menjadi Ketua Divisi Alura. Waktu itu yang kupikir adalah, "oke, aku belum bisa lepas dari sosmed sejak jadi admin Instagramnya PN Muara Enim." dan benar saja, bisa dibilang Divisi Media ini yang program kerjanya terus ada, dan jadi salah satu divisi yang krusial dalam hal membuat Alura merasa saling memiliki melalui postingan-postingan di media sosial.

Tentu saja, aku tidak sendiri, banyak teman yang mendedikasikan diri mereka menjadi pengurus Alura (yang entah kapan akan berakhir, karena belum ada kabar kelanjutan cohor Pencerah Nusantara). Kami memiliki banyak program, dan hampir selalu mengagendakan bertemu dan berdiskusi mengenai perkembangan Alura. Apalagi kalau ada Brian, si ketua Alura. Kalau dia lagi ke satu kota, maka dia akan mengajak bertemu keluarga Alura yang berada di kota itu.

Podcast Ngobral, salah satu programnya Divisi Media Alura

Tapi, melalui Alura ini, aku masih bisa merefleksikan diri pada hal-hal yang sudah dicapai, terutama manfaatnya untuk masyarakat. Membahas secara ringan dan renyah mengenai BPJS, pelayanan kesehatan, dan inovasi di bidang kesehatan, it's really makes me alive. Hal-hal kayak gini gak bisa dengan mudah aku dapatkan sekarang, mungkin karena porsinya berbeda ya. Dulu kami menghabiskan 365 hari bersama di satu tempat, at least kami bertiga atau berempat dengan teman setim lah. Tapi sekarang kan pekerjaanku dibatasi waktu, dan bukan lagi murni pengabdian (walaupun bisa saja aku menganggapnya begitu).

***

Well, itulah beberapa hal yang bisa aku kumpulkan dalam perjalananku setahun ke belakang. Kayaknya singkat banget ya ceritaku, padahal itu dimulai dari Januari sampai Desember haha. Sesuai judulnya, aku ingin membuatnya sederhana, walaupun susah banget bagiku untuk gak nulis panjang. Aku tahu aku mungkin sudah ditinggalkan banyak pembacaku, apalagi pembaca blogku ini yang gak banyak. Di blog yang sudah sangat jarang kuurus ini, aku cuma ingin berbagi aja. Tidak ada keinginan apapun untuk show off, karena dengan nulis blog ini paling tidak aku masih merasa dekat dengan jati diriku sebagai penulis.

Ke depannya, tahun 2020 ini aku berharap satu persatu yang sudah kucapai di tahun 2019 bisa menimbulkan dampak positif, utamanya untuk keluarga dan orang-orang terdekatku. Menikah? Hmm... i think that i must get ready for this. Tahun ini aku akan menginjak quarter life yang katanya bakal ada "krisis", tapi apapun itu aku ingin bisa menyikapinya dengan baik.

Oke, see you again on another post on this website and thank you for reading me!



2 komentar:

  1. Tulisannya sangat bermanfaat dan menginspirasi, boleh dibilang ini sederhana tapi maknanya luar biasa.

    Di tunggu tulisan selanjutnya mba.🙏

    BalasHapus
  2. Selalu menjadi fans dari semua tulisannya Rani

    BalasHapus