Jumat, 17 Februari 2017

Resensi Novel "Dilan: Dia adalah Dilanku Tahun 1990"

Kali ini beda ya sama postingan blogku yang lain. Coba-coba aja bikin resensi buku :)

Judul : Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun 1990
Penulis : Pidi Baiq
Penerbit : PT Mizan Pustaka
Cetakan : XVIII, Oktober 2015, 332 halaman
ISBN : 6027870419 (ISBN13: 9786027870413)


Siapa yang belum pernah mendengar nama Pidi Baiq? Nyari teman, biar sama kayak aku maksudnya :D Tapi, siapa yang belum pernah mendengar novel yang menceritakan kisah Dilan dan Milea ini? Novel trilogi karya Pidi Baiq ini pernah jadi booming di kalangan pecinta novel beberapa waktu lalu. Belakangan aku baru tahu kalau novel ini diadaptasi dari tulisan penulis di blognya ini.

Mirip kayak perjalanannya Raditya Dika, kalau kupikir waktu itu. Mengingat keduanya sama-sama memulai menulis buku dari blognya. Tapi aku gak akan bahas tentang perjalanan karir Pidi Baiq ataupun Raditya Dika, karena aku juga gak terlalu mengikuti perjalanan keduanya :D

Well, pertamakali lihat cover bukunya sih, SIMPEL BANGET. Jadi hanya ada satu gambar karakter tokoh utama: si Dilan yang lagi berdiri di samping motornya dengan latar belakang warna biru. Ditambah dengan judulnya yang ada embel-embel “…tahun 1990” aku pikir ini novel lama dan berkisah tentang remaja pada masa 90-an. Hayo yang pernah mengalami tahun 90-an angkat tangannya.

Kemudian kesan kedua yang kutangkap sewaktu membuka halaman pertama adalah… Pidi Baiq berperan banyak di dalam novel ini. Kalian bisa lihat di keterangan buku bahwa doi tidak hanya berperan sebagai penulis, melainan juga illustrator. Di novel ini kalian akan banyak menemukan banyak gambar yang mengilustrasikan bagian-bagian tertentu dalam setiap bab. Sebelum masuk ke bab pertama, kalian malah akan diperkenalkan pada semua tokoh yang terlibat dalam novel ini dalam gambar ilustrasi. Bagiku, ini keren. Sangat jarang aku menemukan novel yang menggambarkan cerita sebegitu detailnya.

Itu baru gambarnya, isinya gimana?

Well, seperti yang pernah kutulis di status facebookku, waktu baca halaman pertama di bab pertama, yang kupikirkan saat itu adalah, “Yakin novel kayak gini laris di pasaran?” bahasanya itu ya, simple banget. Kayak gini, “Namaku Milea. Milea Adna Hussain. Jenis kelamin perempuan, dan tadi baru saja selesai makan jeruk.” Kalimat selanjutnya kira-kira sama, mirip nulis diary.

Nah, begitulah. Segamblang itu. Aku jadi ingat bulan lalu, aku baru saja membabat (read: menyunting) sebuah novel dengan bahasa yang sebenarnya tidak segamblang ini. Yah, kalau editornya aku, aku lebih suka memakai bahasa popular, tidak baku yang nanti akan berujung kaku. Jadi aku mikir, jika aku jadi editornya Pidi Baiq waktu itu, aku pasti bakal minta dia revisi total.

Tapi, ternyata aku lanjut baca terus dong. Gak tau kenapa, seperti ada yang menarik dari bahasa lugas yang dipakai Pidi itu. Ada sesuatu yang, “gue harus cari ini bagusnya novel dimana”. Dan… ya! Ada. Ini dari sudut pandangku aja ya: kupikir ini cara Pidi Baiq mendalami karakter tokohnya. Cerita ini memang diawali dengan Milea, seorang istri yang tinggal bersama suaminya di Jakarta Pusat, yang bercerita tentang mantan pacarnya yang bernama Dilan, juga masa-masa SMA-nya.

Terus, apa yang menarik? Bagiku, tulisan Pidi Baiq yang menjelma dalam tulisa Milea adalah potret kehidupan remaja jam 90-an beserta paradoksnya. Ini gak cuma aku yang bilang, sebagai generasi tahun 90-an, novel ini benar-benar mengingatkan kita tentang masa sebelum abad ke-20, walaupun masa itu aku masih bocah ingusan.

Setting cerita bertempat di Bandung, dan dari novel ini aku jadi punya gambaran tentang kondisi Kota Bandung di tahun 90-an. Lihat? Ternyata di balik bahasa lugas nan receh yang dipakai Pidi Baiq ini, dia menawarkan deskripsi cerita yan membuat pembacanya seperti sedang menonton film layar lebar. Detail dan dalam dengan cara tidak menjemukan.

Tokoh Dilan dalam novel ini, kukira adalah sosok cowok idaman yang aneh. Sering membuatku berpikir, ada ya orang kayak Dilan ini?

Banyak gombalan aneh dan receh Dilan yang bikin baper lho. Misal, “Kamu cantik. Tapi aku belum mencintaimu, enggak tahu kalau sore. Tunggu aja.” atau “Kalau suatu saat nanti kau rindu padaku, maukah kau memberitahuku?... agar aku bisa langsung berlari menemuimu.” Atau “Kalau aku gak datang karena takut ayahmu, aku pecundang.”

NOH! Duhai Dilan, kamu itu ajaib!

Jadi novel ini cuma menceritakan kisah asmara antara Dilan, si Panglima Tempur di geng motor di Bandung yang juga juara kelas, dengan Milea, anak pindahan yang banyak disukai cowok-cowok di sekolahnya. Kukira kalau gak ada tokoh Dilan yang suka ngomong dengan bahasa “aneh” nan lucu itu, pembaca gak akan penasaran dan melanjutkan membaca novel ini sampai tuntas.

Tapi, tapi… aku sedikit terganggu dengan pilihan font di cover (subjudul), daftar isi, dan judul bab nya. Aku harus ngerem mata berkali-kali buat memahami tulisan apa itu. Terakhir, gatau kenapa aku ngerasa karakter khas Dilan yang “ajaib” di bab-bab awal novel, kerasa seperti memudar di bab-bab akhir. Apalagi diceritakan kalau Dilan itu panglima tempur, tapi penggambaran karakter Dilan kurang kuat jika disebut dia panglima tempur yang biasanya identik dengan cara bicara yang kasar, berandal, dan pembuat onar. Udah ada sih beberapa bab yang menggambarkan Dilan berantem, ngajak perang guru di sekolahnya, sampe bikin papan pembatas kelas roboh. Tapia pa ya, bagiku kurang nendang.

Novel ini juga menggambarkan banget kisah klise dengan tokoh supersempurna yang bikin pembacanya pada iri. Dilan yang dibilang cakep (meski dari ilustrasi Pidi yang seperti separuh matang itu gak terlihat cakepnya), anak dari keluarga berada, ayahnya tentara, ibunya kepala sekolah, juara kelas, dan lain sebagainya. Serta Milea yang juga anak dari keluarga berada, ayahnya tentara, cantik, dan sebagainya.

Sekarang aku masih baca novel keduanya, tapi udah dapat bocoran kalau novel ini bakal semakin menjemukan sampe novel ketiganya. Adakah yang sudah baca sampai novel ketiga? Please jangan jadi spoiler!

Well, review di Goodreads juga sebenarnya ada pro dan kontra. Balik lagi soal selera ya. Tapi, aku saranin kalau kamu mau coba-coba ngikutin gaya penulisannya Pidi Baiq yang gamblang dan lugas itu, jangan dulu deh kirim ke penerbit. Apalagi kalau ketemu editor macam aku, bisa langsung tak suruh ganti. Kecuali kalau kamu punya ciri khas seperti Pidi Baiq.

 
Cover depan Dilan #1

0 komentar:

Posting Komentar